Kisah Tragedi Karbala dan syahid nya Imam Husein
Kisah Tragedi Karbala dan syahid nya Imam Husein – Allahumma
Shalli`ala Muhammad Wa ali Muhammad. Assalamu’alaika Ya Aba Abdillah,
Assalamu’alaika yabna Rasulullah, Assalamu’alaika yabna Amiiril
mukminiina wabna sayyidil washiyyin, Assalamu’alaika yabna Fathimata
sayyidati nisaail ‘alamiin, Assalamu’alaika Ya tsarallahi wabna tsarihi
wal witral mawtuuraa, Assalamu’alaika wa ‘alal arwa ihillati hallat bi
finaa ika, ‘Alaikum minni jami’an salamullahi abadaan ma baqiitu wa
baqiyallailu wannahaari.
Salam atas mu wahai Aba Abdillah, Salam atas mu wahai putera
Rasulullah, Salam atas mu wahai putera Amirul Mukminin, Salam atas mu
wahai putra Fathimah penghulu wanita sedunia, Salam atas mu wahai
Tsarallah wabna tsarih wal witral mawtur, Salam atas mu dan para arwah
yang berada di halamanmu, Salam dariku untuk semua, akan selalu
kuucapkan Salamullah atas mu sepanjang hidupku dan sekekal siang dan
malam.
Lima puluh tahun setelah jasad Rasulullah SAWW dibaringkan disamping
Masjid Nabawi, dunia Islam telah terbentang meliputi hampir setengah
bumi. Gembala-gembala onta kini berpesta pora di istana-istana. Mereka
telah menaklukkan Romawi dan Persia. Suara azan bergema mulai dari kota
Alexandria di Mesir sampai ke dusun-dusun kecil di Azerbaijan. Berkat
perjuangan Muhammad Rasulullah SAWW, orang-orang Arab yang miskin kini
menjadi penguasa dunia. Bangsa yang semula terasing disahara sekarang
menentukan sejarah umat manusia.
Di Madinah, tidak jauh dari para Rasul yang agung, putera pendiri
Islam tinggal dalam gubuk yang sederhana. Pada malam-malam yang dingin,
ia menghabiskan waktunya dalam ruku’ dan sujud. Zikirnya menyobek
kesepian malam, melantunkan lagu-lagu suci para Nabi. Lihatlah, ia
datang berziarah ke pusara kakeknya. Ia merintih, mengadukan keadaan
ummat yang Ia saksikan. Dalam gemerlap istana para penguasa, cahaya
Islam telah padam, dalam bentangan daerah kekuasaan mereka, kaum
mukminin yang saleh menderita karena penindasan. Istana-istana telah
didirikan dengan merampas hak orang-orang yang lemah. Anggur yang
diedarkan dalam cawan-cawan merah diperah dari keringat dan darah kaum
muslimin.
Musik-musik dimainkan dengan membungkam suara pejuang kebenaran.
Ia sampaikan kepada Nabi apa yang dilakukan umamatnya. Nabi pernah
berpesan agar ummatnya memelihara dua pusaka yang ditinggalkannya:
Kitabullah dan Keluarganya, Ahlul Bayt-nya. Sekarang Al-Qur’an hanya
tinggal bacaan. Para ulama sewaan memutarbalikkan maknanya. Lalu, dimana
keluarga Nabi yang agung, dimana bahtera Nabi Nuh (a.s.), dimana
gemintang petunjuk jalan ? Imam Ali (a.s.) dikhianati bekas pengikutnya.
Ketika ruku’ pedang menebas kepalanya dan darah membasahi jenggotnya.
Padahal di zaman Rasul yang agung, ketika ruku’ Imam Ali (a.s.)
menyerahkan sedekahnya kepada peminta-pemintanya.
Masih terngiang ucapan Rasulullah kepada Imam Ali (a.s.), “Hai Ali,
tidak akan mencintaimu kecuali orang mukmin, dan tidak akan membencimu
kecuali orang munafik.” Ketika Imam Ali (a.s.) berperang tanding dengan
Amer bin Abdul Wudd di Khandaq, Nabi sujud dan berdo’a: “Ya Allah,
Engkau telah mengambil Ubaidah pada perang Badar dan Hamzah pada perang
Uhud, jangan Engkau mengambil Ali, jangan tinggalkan aku sendirian.”
Imam Ali menang, Rasulullah memeluknya, air mata, deras membasahi
pipinya.
Kini putera Imam Ali, Al-Husein mendengar para khatib melaknat
ayahnya di mimbar-mimbar. Imam Ali (a.s.) yang meruntuhkan benteng
Khaibar, yang memenangkan perang Badar, kini dicaci maki. Imam Ali,
suami puteri kesayangan Rasulullah dianggap murtad dari agama. Imam Ali
yang tidur di ranjang Nabi ketika Nabi berangkat hijrah, yang
mengantarkan hijrah keluarga Nabi dengan berjalan kaki ratusan kilo
meter sehingga melepuh kedua telapak kakinya, kini dimusuhi kaum
muslimin.
Imam Hasan (a.s.) bersedia berdamai asalkan Muawiyah menghentikan
kecaman terhadap ayahnya, Ia dikhianati. Muawiyah melanggar janji.
Bahkan Imam Hasan, penghulu surga ini diserang diatas kendaraannya dan
diracun oleh orang yang terdekat dengannya. Para pecinta Imam Ali
dikejar-kejar dan dianiaya. Lihatlah, Hujur bin Adi dan
sahabat-sahabatnya dikubur hidup-hidup. Puluhan orang jama’ah Masjid
dipotong tangannya karena tidak mau melaknat Imam Ali (a.s.).
Imam Husein (a.s.) menangis, merintih di depan pusara kakeknya. Ia
mengadukan semua kezaliman ummat terhadap Ahlul Bayt dan para
pengikutnya. Dengarkan Al-Husein berkata kepada kakeknya, “Salam bagimu,
ya Rasulullah. Inilah aku, Al-Husein puteri fathimah. Kesayanganmua,
cucumu dan pusaka yang kau tinggalkan kepada umatmu. Saksikan, ya Nabi
Allah, mereka telah menghinaku, menyia-nyiakan aku, dan tidak menjagaku.
Aku mengadu kepada mu, sampai aku bertemu dengan mu”. Kemudian Imam
Husein shalat beberapa rakaat. Setelah shalat, Ia berdo’a: “Ya Allah,
inilah kubur Nabi-Mu, Muhammad SAWW. Aku anak dari puteri Nabi-Mu. Telah
terjadi padaku peristiwa yang telah Engkau ketahui. Ya Allah, aku
mencintai kebaikan dan membenci kejahatan. Aku bermohon pada-Mu, wahai
pemilik keagungan dan kemuliaan, dengan hak kubur inidan penghuninya.
Pilihkan bagiku urusan yang Engkau ridhai, yang diridhai Rasul-Mu, yang
diridhai kaum mukminin”. Ia menangis terus sampai menjelang waktu subuh.
Ia meletakkan kepalanya di atas pusara kakeknya sampai tertidur.
Tiba-tiba Ia melihat Nabi yang mulia datang, dikawal para Malaikat
disebelah kiri dan kanan, dimuka dan di belakang. Nabi merapatkan
Al-Husein ke dadanya dan mencium diantara kedua matanya, sambil berkata,
“Husein sayangku, seakan telah kulihat tubuhmu bersimbah darah,
terbantai di Karbala, ditengah-tengah ummat-ku. Waktu itu engkau
kehausan dan tidak diberi minum, engkau dahaga dan tidak dipuaskan.
Padahal mereka mengharap syafa’at-ku. Tidak, mereka sama sekali tidak
akan mendapat syafa’at-ku pada hari kiamat. Mereka binasa disisi Allah.
Kasihku, Husein, ayahmu, ibumu dan saudaramu menitipkan salam padaku,
mereka merindukannmu. Bagimulah derajat tinggi di surgayang tak tercapai
kecuali dengan kesyahidan mu”.
Di makam Rasulullah, Imam Husein berjanji untuk menegakkan kembali
Islam yang sebenarnya, Islam yang diajarkan oleh kakeknya. Islam yang
menentang kezaliman, Islam yang melawan penindasan, Islam kaum
mustadh’afin. Esoknya Ia menghimpun keluarganya, berangkat menuju Kufah.
kepergiannya mengguncangkan hati banyak sahabat Nabi.
Ummu Salamah, Ummul Mukminin, isteri Rasulullah SAWW mengantarkannya
dengan linangan air mata. Ummu Salamah terkenang saat ia bersama
Rasulullah. Dengarkan cerita Ummu Salamh: “Pada suatu malam Rasulullah
berbaring untuk tidur, kemudian bangun kembali dalam keadaan resah,
berbaring kembali lalu bangun kembali. Di tangannya ada segenggam tanah
merah.
Ia mencium tanah itu. Aku bertanya, tanah apakah ini ya Rasulullah ?,
Rasulullah menjawab, baru saja Jibril memberitakan padaku bahwa
Al-Husein akan terbunuh di Karbala. Inilah tanah, tempat darahnya
tumpah. Kemudian ia memberitakan padaku seraya berkata: Tanah ini
berasal dari tanah tempat Al-Husein akan terbunuh. Kalau tanah ini nanti
berubah menjadi darah, ketahuilah Al-Husein sudah terbunuh. Kemudian
aku menyimpan tanah itu didalam botol. Aku bertanya, hari itu hari
berkabung bila tanah ini telah berubah menjadi darah”.
Detik-detik Saat Darah Suci Mewarnai Tanah Karbala
Suasana kota Kufah tercekam kezaliman dan ketidak-adilan, ajaran
Islam diselewengkan oleh penguasa zalim Ibnu Ziyad, Gubernur kepercayaan
Yazid bin Muawiyah. Penduduk Kufah tidak tahan menghadapi kenyataan
itu. Mereka mengirim surat kepada Imam Husein (a.s.), isinya
mengharapkan bimbingan ruhani dari cucu kesayangan Rasulullah SAWW.
Mereka berjanji akan membai’at kepadanya sebagai khalifah mereka.
Setelah melakukan ibadah haji, Imam Husein beserta rombongannya pergi
meninggalkan Makkah menuju Kufah untuk memenuhi harapan penduduk Kufah.
Menjelang senja tanggal 2 Muharram, Imam Husein dan rombongannya tiba
di suatu tempat kurang lebih 70 km dari kota Kufah, tempat itu adalah
Karbala. Di tempat itu Imam dan rombongannya berhenti. Selesai shalat
dan berdo’a, Imam memerintahkan rombongannya memancangkan kemah-kemah
untuk istirahat dan melepaskan lelah karena perjalanan yang cukup jauh.
Pengawasan yang begitu ketatnya oleh penguasa zalim, sehingga berita
keberangkatan Imam Husein (a.s.) dan rombongan terdengar oleh Gubernur
Kufah, Ibnu Ziyad mempersiapkan 4.000 orang yang merupakan pasukan
dengan peralatan perang yang lengkap untuk menghadang Imam Husein (a.s.)
dan rombongannya yang berjumlah 72 orang.
Matahari ketika itu sudah condong ke Barat, waktu Ashar sudah hampir
lewat untuk digantikan oleh maghrib. Di perkemahan Alhusain r.a. suasana
diliputi oleh kehausan dan kelesuan karena kekurangan air dan pangan.
Suasana panas terik di petang hari itu tambah mencekam. Alhusain r.a.
sendiri sedang duduk dengan tenang di depan kemahnya untuk sekedar
melepaskan lelah dan mengendorkan ketegangan pikiran. Ia sama sekali
tidak memperhatikan dan mengetahui apa yang sedang terjadi di kalangan
pasukan Ubaidillah. Ia tidak mengetahui, bahwa seorang kurir dari Kufah
telah datang membawa jawaban Ubaidillah bin Ziyad atas usul-usul yang
dikemukakannya melalui Umar bin Saad.
Dan lebih-lebih lagi ia tidak mengetahui apa isi surat jawaban
penguasa Kufah itu. Karena terlalu lelah dan payah, akhirnya Alhusain
r.a. jatuh tertidur.
Sitti Zainab, adik perempuan yang selalu berada tidak begitu jauh
dari tempatnya, tiba-tiba datang setengah berlari dan segera
membangunkannya.
“Kak Husain! Kak Husain!” kata Sitti Zainab sambil
menggoncang-goncangkan tangan kakaknya yang tertidur di depan kemahnya.
Alhusain r.a. yang terkejut karena dibangunkan dengan tiba-tiba itu
sebelum sempat menanyakan apa-apa yang telah ditukaskan oleh adiknya.
“Apakah kau tidak mendengar suara gemuruh yang makin mendekat itu?”
Suara Sitti Zainab yang mengandung ketakutan itu mendapat jawaban yang tenang dari kakaknya:
“Adikku,” kata Alhusain r.a. sambil memandang dengan kasih sayang
kepada adik yang sangat disayanginyaitu, “Aku baru saja bermimpi bertemu
dengan kakek kita, Rasul Allah s.a.w.”
Tanpa memperdulikan apa yang dikatakan oleh adiknya, Alhusain r.a.
kemudian melanjutkan: “Dalam mimpi tersebut beliau mengatakan kepadaku
demikian: ‘Wahai Husain, engkau akan datang menyusul aku!’…”
Mendengar mimpi kakaknya itu, Sitti Zainab tidak dapat menahan
perasaannya lagi. Sambil memukuli wajahnya sendiri ia berteriak-teriak:
“Aduh, alangkah celaka aku ini!”
Tetapi Alhusain r.a. tetap bersikap tenang, bahkan ia berusaha
menenteramkan adiknya dengan kata-kata: “Engkau tidak akan celaka,
Zainab. Diamlah, adikku. Tenanglah. Semoga Allah s.w.t. memberikan
rahmat-Nya kepada engkau!”
Selesai mengucapkan kata-kata penenang bagi Sitti Zainab itu,
Alhusain r.a. kemudian berdiri dan berjalan menuju ke tempat adiknya,
yaitu Al-Abbas bin Ali. Kepada adik lelakinya itu Alhusain r.a.
memerintahkan untuk mengecek apa sebenarnya suara gemuruh itu dan apakah
memang benar bahwa suara itu adalah suara derap kuda-kuda musuh yang
datang untuk menyerang mereka. Tidak perlu lama Alhusain r.a. menunggu
jawaban, sebentar kemudian Al-Abbas bin Ali telah datang dengan
tergesa-gesa.
“Musuh benar-benar telah mendekat dan siap untuk melakukan
penyerangan guna membinasakan rombongan kita!” Demikian dilaporkan oleh
Al-Abbas bin Ali.
Menerima laporan ini Alhusain r.a. segera mengirimkan seorang utusan
untuk menemui komandan pasukan penyerbu itu. Ia mengusulkan agar supaya
pertempuran ditunda sampai esok hari.
“Berikanlah kesempatan kepada kami pada hari ini untuk melakukan
sholat dan ibadah kepada Allah s.w.t. untuk memohon do’a dan istighfar…”
Demikian kata Alhusain r.a. kepada komandan pasukan ibnu Ziyad itu.
Menghadapi usul yang tiba-tiba itu, Umar bin Saad kemudian melakukan
perundingan sebentar dengan komandan-komandan dan bawahannya dan
beberapa orang perwira. Akhirnya pertempuran yang hampir saja pecah pada
petang itu mereka mufakati untuk ditunda sampai esok pagi.
Malam hari itu juga setelah melakukan sholat Isya bersama-sama, maka
Alhusain r.a. yang tahu betul bahwa pertumpahan darah sudah tidak akan
bisa dielakkan lagi, segera mengumpulkan sahabat-sahabatnya yang masih
tetap setia. Orang tahu betul bahwa pertempuran yang akan terjadi itu
adalah sama sekali tidak seimbang. Tidak seorang pun di antara rombongan
Alhusain r.a. yang punya harapan untuk menang.
Delapan puluh orang, termasuk anak-anak dan perempuan, untuk
menghadapi empat batalyon pasukan yang terlatih dan lengkap
persenjataannya! Hanya suatu keajaiban saja yang mungkin bisa
membalikkan keadaan.
Kepada sejumlah kecil sahabatnya itu berkatalah cucu Rasul Allah s.a.w. sebagai berikut:
“Sungguh, belum pernah aku mengenal ada sahabat-sahabat yang melebihi
kesetiannya (kepadaku) daripada kalian ini. Demikian pula, aku belum
pernah tahu, ada suatu keluarga yang kebaikan hati mereka melebihi
daripada keluargaku ini. Semoga Allah s.w.t. memberikan imbalan yang
baik bagi kalian atas kebaikan dan kesetiaan kalian terhadap diriku…”
Demikian ucap Alhusain r.a. pada malam menjelang pertempuran di tempat
yang bernama Karbala itu.
Suasana hening, keprihatinan mencekam. Dengan beratapkan langit yang
cerah dan berbintang, kelompok kecil itu dengan sungguh-sungguh
memperhatikan Alhusain r.a.
“Ketahuilah saudara-saudaraku,” kata Alhusain r.a. melanjutkan,
“bahwa aku memberikan ijin kepada kalian untuk berpisah dengan aku.
Karena itu, berangkatlah. Biarlah kita berpisah dalam keadaan yang baik.
Selamatkan diri kalian. Aku melepaskan kalian dengan baik dan tiada
lagi ikatan antara kalian dengan aku…”
Kata-kata tersebut diucapkan dengan penuh rasa haru. Beberapa orang
lelaki tidak dapat menahan perasaannya, melelehkan airmata. Sedangkan
perempuan-perempuan yang merapatkan telinga di dinding tenda untuk
mendengarkan apa yang diucapkan Alhusain r.a., terisak-isak. Malahan ada
yang jadi histeris, berteriak-teriak melengking memecah kesepian malam.
Tetapi tanpa memperdulikan semuanya itu, berkatalah Alhusain r.a. lebih
jauh:
“… kini kita telah diselubungi oleh kegelapan malam. Nah, jadikan
kegelapan ini sebagai tabir yang kiranya dapat melindungi kalian dalam
perjalanan yang akan kalian lakukan. Aku mengharapkan agar tiap seorang
di antara kalian bersedia membawa dan menuntun salah seorang anggota
keluargaku. Kemudian pergilah menyebar di bumi Allah ini sehingga Allah
s.w.t. memberikan jalan keluar bagi kalian semua…”
Berhenti sejenak ia mereguk rasa haru yang tersendat dalam kerongkongannya untuk kemudian melanjutkan dengan kata-kata:
“Hendaknya saudara-saudara mengetahui, bahwa pasukan musuh yang akan
datang menyerang (esok pagi) tidak lain tujuannya kecuali untuk mencari
aku. Kalau mereka kemudian sudah berhasil menangkap dan membunuh aku,
maka aku yakin mereka tidak akan lagi memperdulikan orang-orang lain…”
Perasaan para pendengar yang sudah lama tertekan mendengarkan
kata-kata Alhusain r.a. yang mengharukan itu akhirnya tidak dapat mereka
endapkan lagi, dengan serentak, seolah-olah ada suatu perintah ajaib,
mereka berseru:
“Ya, Subhanallaaah!” Lalu kemudian menyusul beberapa orang yang
berkata dengan berbagai bentuk kalimat, tetapi satu juga maknanya
demikian:
“Apa yang akan dikatakan orang kelak mengenai diri kami apabila kami
meninggalkan Imam dan pemimpin kami sebelum kami melepaskan sepucuk anak
panah dan belum menghunjamkan tombak dan menebaskan pedang-pedang kami
terhadap musuh-musuh kita? Apakah kami akan mengatakan bahwa kami telah
meninggalkan pemimpin kami, Alhusain, untuk menjadi umpan panah dan
sasaran tombak musuh? Dan kemudian jenazah pemimpin kami itu kami
biarkan dikoyak-koyak oleh binatang-binatang buas? Apakah kemudian kami
akan mengatakan bahwa kami telah lari untuk menyelamatkan diri kami agar
kami dapat terus hidup? Apa yang hendak kami katakan kepada kakekmu,
Rasul Allah s.a.w., apabila kami bertemu dengan beliau di alam baqa
nanti? Dan bagaimana pertanggungan jawab yang harus kami berikan kepada
Allah s.w.t….?”
Suasana tenang yang mula-mula bersifat monolog mendengarkan ucapan
Alhusain r.a. sekarang berubah menjadi ucapan reaksi bermacam-macam.
“Demi Allah,” kata beberapa orang, “kami tidak akan melakukan
perbuatan demikian itu. Kami telah bertekad bulat untuk mengurbankan
jiwa raga dan harta kami bahkan juga keluarga kami untuk bertempur
bersama-sama dengan engkau sehingga kita bersama-sama menemui tempat
yang memang disediakan untuk kita. Kami tidak dapat membayangkan, betapa
buruknya kehidupan kami sepeninggal engkau!”
Bahkan salah seorang sahabat Alhusain r.a. itu dengan suara paling
keras mengatakan: “Demi Allah, kami tidak akan berpisah dengan engkau
selama pedangku masih berada di tanganku!”
Tidak dapat lagi Alhusain r.a. yang keras hati itu menahan airmata
harunya mendengarkan kata-kata penuh keberanian yang dilandasi oleh
ketulusan dan kecintaan pada dirinya itu. Melihat Alhusain r.a.
meneteskan airmata, suasana emosionil penuh keberanian itu berubah
menjadi tangis bersama. Bukan tangis hati yang kecut, tetapi ungkapan
kesatuan perasaan yang tak dapat dibendung.
Tetapi Alhusain r.a. segera menyadari, bahwa malam itu tidak boleh
dihabiskan dengan ungkapan emosi. Besok pagi telah menunggu tugas berat
dan menentukan. Segera dimintanya segenap anggota rombongan untuk
beristirahat dan sebagian orang lagi berjaga-jaga bergantian. Malam
makin mendalam, sunyi makin mencekam. Ternyata orang-orang dewasa hampir
tak ada yang dapat memejamkan mata. Mereka bukan dihinggapi kengerian,
tetapi masing-masing dalam batin maupun ucapan menyampaikan do’a dan
berzikir ke hadirat Yang Maha Esa. Mereka mohon agar iman mereka
diteguhkan untuk menghadapi cobaan yang sudah menunggu di ambang pagi
hari esok.
Di tengah-tengah kesepian yang mencekam di perkemahan Alhusain r.a.
dan rombongannya itu, tiba-tiba memecah suara teriakan yang memilukan.
Suara yang keluar dari kerongkongan seorang wanita itu seperti suatu
keluhan:
“Ah, Husain, pemimpin kami, pemuka yang jadi harapan kami! Oh,
alangkah menyedihkan hidupku ini. Alangkah baiknya apabila aku mati
daripada harus memikul beban kesedihan ini. Datang kini perasaanku oleh
wafat Rasul Allah s.a.w., berpulangnya Sitti Fatimah bundaku,
meninggalnya ayahku dan matinya saudaraku Alhasan…”
Orang-orang segera mengetahui bahwa suara memilukan itu adalah
keluhan Sitti Zainab, puteri Sitti Fatimah r.a. dan adik kandung
Alhusain r.a. sendiri.
CERITA ALI ZAINAL ABIDIN
Peristiwa menjelang pertempuran Karbala ini telah diceritakan pula
oleh Ali Zainal Abidin r.a., putera Alhusain r.a. yang malam itu masih
belum lepas sama sekali dari serangan penyakit. Tentang jeritan pada
malam menjelang pertempuran di Karbala yang terlontar dari mulut
bibinya, Sitti Zainab menurut Ali Zainal Abidin itu adalah sebagai
berikut:
“Pada malam hari pada waktu keesokan harinya ayahku gugur di Karbala,
aku sedang duduk termenung dalam keadaan sakit. Ketika itu bibiku
berada di sampingku. Dalam kesunyian itu tiba-tiba aku dan bibiku
mendengar suara ayahku, Alhusain yang berada di kemahnya,
mengumandangkan suatu syair. Dengan suara terputus-putus bersyairlah
ayahku demikian:
Oh, zaman.
Alangkah buruk engkau sebagai teman.
Betapa banyak peristiwa sedih telah terjadi.
Pada pagi dan petang hari.
Peristiwa-peristiwa yang menimpa para sahabat
yang menuntut balas terbunuhnya keluarga.
Dan engkau, wahai zaman, tidak puas dengan pengganti
menuntut terus tiada henti.
Sesungguhnya, Segala urusan kembali pada Yang Maha Esa.
Semua makhluk hidup menempuh jalan itu juga.
Mendengar syair ayahku yang diucapkannya berulang kali, terasa
tenggorokanku makin kering dan tak dapat lagi aku menahan airmataku.
Demikian pula bibiku yang hampir selalu berada di dekatku yang juga
turut mendengar alunan sajak ayahku yang lebih menyerupai ratapan itu
akhirnya menangis pula. Ia tiba-tiba berteriak, melompat berdiri dan
pergi tanpa kerudung menuju ke kemah ayahku. Lalu aku mendengar ia
berkata kepada ayahku:
“Oh, Husain, kakakku. Engkau akan meninggalkan aku. Coba kalau ajal mengakhiri hidupku ini!”
“Adikku Zainab,” terdengar suara ayahku menjawab dengan suara lemah
lembut dan menyejukkan, “jangan biarkan dirimu dipengaruhi oleh syaithan
yang memang berusaha menghabiskan kesabaranmu …”
“Kakakku Husain,” sahut bibiku dengan suara isakan tangisnya, “semoga jiwaku menjadi tebusan bagimu.”
Rupanya ayahku sangat terharu sehingga tidak dapat menahan tetesan
airmatanya mendengar ungkapan kasih sayang adiknya itu. Berkatalah
beliau kemudian:
“Adikku, teguhkanlah imanmu kepada Allah s.w.t. Serahkan nasibmu
kepada-Nya. Ketahuilah adikku, semua makhluk di permukaan bumi ini pasti
(pada suatu waktu) akan mati. Demikian pula segenap penghuni langit
tidak akan hidup abadi. Segala sesuatu pasti akan mengalami
kemusnahannya, kecuali Allah s.w.t. Bukankah ayahku lebih baik
daripadaku? Ibuku lebih baik daripadaku? Demikian pula saudaraku adalah
lebih baik daripada aku? Mereka semua itu telah pergi mendahului aku.
Hendaklah aku dan semua orang beriman menjadikan Rasul Allah s.a.w.
sebagai contoh dan tauladan dari kehidupannya …”
Aku masih ingat, ayahku mengakhiri kata-katanya pada malam itu dengan mengucapkan:
“Adikku, aku minta engkau bersumpah di hadapanku. Dan aku harapkan
agar engkau menepati sumpahmu itu. Yaitu, apabila aku gugur, maka
janganlah engkau mengoyak-koyak bajumu dan memukuli wajahmu. Jangan pula
kau mendoakan kehancuran dan kecelakaan karena hilangnya aku …”
Itulah salah satu peristiwa yang diingat dan dikisahkan oleh Ali
Zainal Abidin r.a. mengenai malam menjelang terjadi malapetaka Karbala.
Ia masih muda. Tetapi orang mengenalnya sebagai anak yang cerdas.
Peristiwa itu sangat berkesan pada dirinya. Sebab pada malam itulah
rupanya ia mendengar suara ayahnya yang terakhir pada malam hari. Anak
yang masih muda itu telah ikut merasakan suatu keadaan yang sedang
mengancam rombongan yang dipimpin oleh ayahnya.
Malam itu ternyata cepat berlalu dengan iringan do’a dan zikir para
anggota keluarga dan sahabat-sahabat Alhusain r.a. Sedang di suatu
tempat yang tidak seberapa jauh letaknya, seperti harimau lapar, menanti
suatu pasukan yang bersenjata lengkap untuk menyergap rombongan yang
kecil ini. Anggota pasukan itu menyalakan api untuk sekedar mengurangi
kedinginan malam di Karbala.
Sementara sakit Ali Zainal Abidin r.a. bertambah berat. Sitti Zainab
yang selalu mendampinginya tidak dapat menahan kepedihan hati dan
kebingungannya. Sebentar-sebentar dirabanya dahi anak itu. Panas tidak
makin mereda. Bibir yang mungil dan biasa kemerah-merahan, sekarang
nampak kering dan pecah-pecah.
“Minum…,” terdengar suara lirih dari tenggorokan yang telah kering
itu. Makin tersayat hati Sitti Zainab mendengar permintaan kemenakannya
itu. Sebab air sudah tidak ada lagi. Girab dan pundi air telah kering
kerontang. Sedangkan hanya beberapa puluh meter saja terdapat air yang
melimpah-limpah dari sungai Euphrat. Tetapi air itu dijaga keras oleh
suatu pasukan yang lebih takut kepada ancaman Ubaidillah bin Ziyad
daripada ketakutan mereka kepada Allah s.w.t. Satu-satunya yang dapat
dilakukan oleh Sitti Zainab adalah memberikan harapan dan meneguhkan
iman anak yang dicintainya itu. Ia hanya dapat memohonkan do’a kepada
Allah s.w.t. dan berpesan: “Sabarlah anakku. Tahankan sebentar
kehausanmu!”
Belum cukup menghadapi Ali Zainal Abidin yang tengah disiksa
kesakitan dan kehausan, maka di sampingnya tergeletak anak bayi yang
masih belum lepas susu. Bayi itu adalah Ali Al-Asghar, adik Ali Zainal
Abidin. Pilu mendengar tangis anak kecil yang kehausan. Untuk sekedar
memenuhi permintaan anak yang belum tahu apa-apa itu Sitti Zainab
memasukkan dalam mulut Ali Al-Asghar itu secarik kain. Anak tersebut
kemudian menghisap-hisap ujung kain sehingga terlena untuk kemudian
tertidur sebentar. Tetapi itu tidak berlangsung lama, karena kehausan
kembali mencekam dan terdengar tangisnya yang memilukan.
10 MUHARRAM TIBA
Kalau ada suatu keajaiban bisa terjadi, maka anggota rombongan
Alhusain r.a. pada tanggal 9 Muharram tersebut mengharapkan agar
matahari tidak terbit esok hari.Tetapi apakah artinya? Matahari tidak
terbit lagi tetapi tetap diancam oleh maut karena kelaparan dan
kehausan? Tidak ada pilihan lain. Menyongsong fajar tanggal 10 Muharram
yang membawa pertempuran dengan pasukan Kufah maupun menyongsong
kehausan yang makin mencekam adalah sama beratnya.
Akhirnya fajar tanggal 10 Muharram menyingsing juga. Dua kelompok
manusia saling berhadapan. Satu kelompok besar bersenjata lengkap,
berhadapan sekelompok kecil rombongan cucu Rasul Allah s.a.w. Satu
kelompok mewakili kekuasaan duniawi yang sewenang-wenang, sedangkan
kelompok lain mewakili keimanan dan keturunan yang mulia. Umar bin Saad
memimpin pasukan yang berjumlah tak kurang dari 4.000 orang, berhadapan
dengan pengikut-pengikut setia Alhusain r.a. yang hanya terdiri dari 72
orang, yaitu 32 prajurit penunggang kuda dan 40 orang prajurit pejalan
kaki. Selebihnya hanya terdiri dari anak-anak dan perempuan-perempuan.
Tetapi Alhusain r.a. sama sekali tidak merasa kecil hati dengan
anggota pasukannya yang hanya berjumlah 72 orang itu. Dengan anggun ia
melihat pasukannya yang sudah siap untuk mengorbankan segala-galanya.
Kemudian ia memandang ke depan pada pasukan musuh yang berjumlah ribuan.
Dalam hati kecilnya Alhusain r.a. sudah tahu, bahwa betapapun
keberanian anggota-anggota pasukannya, mereka tidak akan bisa menang
menghadapi musuh yang jauh lebih kuat itu. Tetapi ia sudah bertekad
untuk lebih baik mati bercermin bangkai daripada hidup berkalang tanah.
Kemudian ia mengucapkan do’a dengan suara tenang:
“Ya Allah. Engkaulah tempatku berlindung dalam kesusahan. Engkau
tempat aku meletakkan harapan dalam penderitaan. Betapa banyak sudah
kesukaran yang melemahkan jiwa yang telah Kau timpakan atas diri kami
yang kemudian Engkau angkat. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah pemberi
nikmat dan Engkaulah, wahai Tuhanku, pemilik semua kebaikan.”
Semua anggota pasukannya dengan penuh khidmat mendengarkan
pemimpinnya itu mengucapkan do’a. Sedikitpun tidak nampak wajah kecut
dan ketakutan.
Selesai memanjatkan do’a itu kemudian Alhusain r.a. tegak memandang
ke hadapannya pada pasukan musuh yang dipimpin oleh Umar bin Saad.
Pasukan yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Kufah yang beberapa
waktu sebelumnya telah menyatakan bai’at dan sumpah setianya kepada
Alhusain r.a. Dengan suara lantang kemudian cucu Rasul Allah s.a.w. itu
berseru kepada mereka:
“Wahai para ahli Irak! Dengarkanlah kata-kataku ini. Jangan kalian
cepat-cepat melakukan serangan terhadap kami sebelum kalian mendengar
apa yang akan aku ucapkan ini. Jika kalian insaf dan dapat membenarkan
apa yang kukatakan nanti, pasti hidup kalian akan lebih berbahagia …”
Rupanya permintaan Alhusain r.a. itu diperhatikan benar-benar oleh
Umar bin Saad. Melihat ini kemudian Alhusain r.a. dengan suara penuh
wibawa melanjutkan:
“Tetapi sebaliknya, kalau kalian tidak juga mau insaf dan sadar
sehingga kalian tidak bersedia menerima kebenaran yang aku sampaikan,
maka kami persilahkan kalian mengerahkan semua tenaga dan kekuatan
kalian. Kemudian gempurlah kami; jangan ditunda-tunda lagi!”
Suara Alhusain r.a. penuh wibawa itu rupanya membuat Umar bin Saad
dan anggota-anggota pasukannya tertegun. Sebelum mereka sadar tentang
apa yang harus mereka lakukan, maka tiba-tiba Alhusain r.a. melanjutkan
mengucapkan kata-katanya dengan mengutip ayat 196 surat Al A’raf yang
(terjemahannya) berbunyi:
“Sesungguhnya pelindung kami adalah Allah yang telah menurunkan
Kitab-Nya, dan Allah juga yang melindungi orang-orang yang soleh.”
Suara Alhusain r.a. tersebut menggema di tengah padang pasir pada
fajar yang sangat cerah itu. Ternyata bukan saja pasukan Umar bin Saad
dan pasukannya sendiri, tetapi juga perempuan-perempuan yang ada dalam
kemah-kemah dapat mendengarkan apa yang dikatakan oleh putera Sitti
Fatimah Azzahra r.a. itu. Sitti Zainab bersama kawan-kawannya ketika
mendengar apa yang dikatakan oleh Alhusain r.a. terhadap musuhnya itu
tidak lagi dapat menyembunyikan perasaan mereka. Gema suara Alhusain
r.a. disambut isakan tangis dan sedu-sedan dari kemah-kemah. Rupanya
tangis dan isak itu terdengar juga oleh Alhusain r.a. Ia nampaknya ingat
pada apa yang pernah dikatakan oleh pamannya, ibnu Abbas pada dirinya
sebelum ia meninggalkan Mekah yang berbunyi sebagai benkut:
“Oh, Husain! Jika engkau harus juga berangkat ke Kufah, janganlah kau
membawa wanita dan anak-anakmu yang masih kecil. Sungguh Husain, aku
khawatir kalau engkau sampai terbunuh seperti yang pernah dialami oleh
Usman ketika ia mati dibunuh di hadapan mata isterinya.”
Alhusain r.a. kemudian sadar dari renungannya. Segera ia perintahkan
anaknya Ali Al-Akbar dan Al-Abbas untuk menyuruh diam orang-orang
perempuan itu dari tangisan mereka. Tidak bisa disangsikan, nampaknya
tangis para wanita itu sangat mempengaruhi perasaan Alhusain r.a. Sebab
begitu perempuan-perempuan itu menghentikan tangisnya, berkatalah
Alhusain lebih lanjut:
“Saudara-saudara, kenalilah aku ini. Perhatikanlah siapa aku ini!”
Katanya sambil menunjuk dirinya sendiri. “Lalu kembali tanyakan pada
diri kalian. Dengarkan suara hati nuranimu. Ketuklah hati kecilmu
sendiri dan kemudian pikirlah baik-baik. Pantaskah, layakkah bagi kalian
untuk membunuh aku dan menginjak-injak kehormatan diriku? Bukankah aku
ini putera Sitti Fatimah Azzahra. Puteri junjungan Rasul Allah s.a.w.?
Dan bukankah aku ini putera Ali bin Abitholib, seorang mu’min yang
pertama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya? Bukankah kalian juga tahu
bahwa Hamzah bin Abdul Mutholib, seorang pemimpin dari para syahid
adalah paman ayahku? Demikian pula Ja’far bin Abitholib yang telah mati
syahid itu adalah pamanku!”
Orang-orang, baik rombongan Alhusain r.a. maupun musuh mereka nampak
terpukau oleh kata-kata Alhusain r.a. yang berkata selanjutnya:
“Tidakkah kalian pernah mendengar sabda Rasul Allah s.a.w. mengenai
diriku dan diri kakakku Alhasan, ketika beliau mengatakan bahwa “kalian
berdua adalah pemimpin para pemuda ahli surga dan cahaya mata
orang-orang ahli-sunnah? Tidaklah itu semua cukup menjadi penghalang
bagi kalian untuk menghalangi kalian untuk jangan sampai menumpahkan
darahku?”
Tetapi melihat mata Umar bin Saad dan anggota pasukannya yang tidak
dapat menyetujui ucapan Alhusain r.a. itu maka putera Sitti Fatimah
Azzahra r.a. dengan nada agak meninggi setengah berteriak berkata:
“Jika kalian masih juga merasa ragu terhadap apa yang telah
kukatakan; jika kalian masih bimbang bahwa aku ini benar-benar anak
puteri Rasul Allah s.a.w., boleh aku jelaskan. Demi Allah, tidak ada
lagi baik di Timur maupun di Barat seorang putera dari puteri Rasul
Allah s.a.w., selain daripada aku!”
Suasana makin tegang, karena nampaknya walaupun Alhusain r.a. sudah
mencoba meyakinkan dan membuka hati lawannya, mereka masih tetap
berkeras untuk siap menyergap. Tetapi Alhusain r.a. dengan tenang tetap
meneruskan pidatonya dengan berkata lagi:
“Apakah kalian menuntut aku sebagai suatu pembalasan karena aku telah
membunuh seorang di antara kalian? Ataukah kalian mengejar aku karena
aku telah menghabiskan hartamu?”
Dengan pandangan tajam Alhusain r.a. melihat pada wajah-wajah musuh
yang tidak seberapa jauh berada di hadapannya itu. Banyak di antara
wajah-wajah yang ditatapnya itu yang dikenalnya. Tiap pandangan Alhusain
r.a. bertatapan dengan pandangan orang yang dilihatnya, maka musuh itu
menundukkan kepala. Mereka tak mampu dan tak berani menatap pandangan
putera Sitti Fatimah Azzahra r.a. tersebut. Sebab Alhusain r.a. mengenal
mereka. Tidak sedikit di antara yang dikenalnya itu adalah orang-orang
yang pernah menyatakan kesetiaan mereka kepadanya. Alhusain r.a. sambil
menunjuk kepada beberapa orang mengatakan:
“Hai fulan …, kau anu … Bukankah kalian telah pernah menulis surat
kepadaku dengan mengatakan bahwa ‘tanaman telah menghijau dan buahnya
sudah matang?’ Bukankah kalian juga yang pernah menulis bahwa ‘sudah
waktunya aku datang di Kufah untuk mempersiapkan tentara yang bersedia
membela aku?’ …”
Sungguh, kata-kata Alhusain r.a. ini menggetarkan. Karena bukan saja
yang dikatakannya itu adalah benar, tetapi juga benar-benar menembus
jantung orang-orang yang disebutnya itu. Kata-kata Alhusain r.a. itu
rasanya sudah merupakan tusukan senjata-senjata pertama yang menembus
ulu hati-kecil orang-orang Kufah itu.
Meskipun cukup panjang pidato Alhusain r.a., kedua pasukan yang
sebenarnya sudah siap untuk saling menyergap itu seolah-olah terpukau.
Padahal tombak telah diacungkan dan pedang telah dihunus. Bagi musuh
Alhusain r.a., pidatonya itu seolah-olah merupakan suara seorang hakim
yang siap mengadili mereka. Kata-katanya adalah tuduhan-tuduhan yang
kuat sekali dasarnya. Tak seorang pun yang bergerak dan menyahut selama
cucu Rasul Allah s.a.w. itu menyampaikan kata-katanya dengan bahasa yang
terus terang dan penuh kebenaran. Tetapi kalimat-kalimat terakhir yang
diucapkan oleh Alhusain r.a. itu ternyata tidak dapat lagi mereka
tahan-tahan. Beberapa orang kemudian mengeluarkan teriakan-teriakan
untuk mengganggu dan mengacaukan pidato Alhusain r.a. Mereka malu
terhadap apa yang diungkapkan oleh Alhusain r.a. itu.
ALHURR BIN YAZID INSAF
Hiruk-pikuk di kalangan anggota pasukan Kufah itu makin menjadi-jadi,
sebab banyak di antara mereka yang terkena oleh kata-kata Alhusain r.a.
Tetapi ternyata salah seorang di antara anggota pasukan itu, yang tidak
lain adalah Alhurr bin Yazid telah menerima kata-kata Alhusain r.a. itu
dengan penuh kesadaran. Selama itu memang dia termasuk di antara salah
seorang anggota pasukan Umar bin Saad yang mendengarkan dengan tekun
pidato Alhusain r.a. Di tengah-tengah hiruk-pikuk suara mereka yang
mengacau amanat Alhusain r.a., maka Alhurr tiba-tiba bergerak mendatangi
komandan pasukannya, yaitu Umar bin Saad.
“Apakah engkau akan berperang dengan sekelompok orang itu?” Tanya Alhurr bin Yazid kepada Umar bin Saad.
“Ya! Demi Allah, aku akan menggempur dia. Sekurang-kurangnya sampai
kepalanya jatuh dan tangannya melayang!” Jawab komandan pasukan, Umar
bin Saad itu.
“Apakah engkau tidak setuju dengan salah satu dari tiga saran yang
telah dikemukakan oleh Alhusain itu?” tanya Alhurr bin Yazid lagi.
“Demi Allah,” jawab Umar bin Saad dengan mata memandang ke bawah dan
suara agak dilirihkan, “jika sekiranya kekuasaan ada di tanganku, tentu
saja aku akan menerimanya. Tetapi Kepala Daerah, Ibnu Ziyad. tidak mau
menerima (saran Alhusain) itu.”
Mendengar jawaban dari atasannya itu Alhurr tertegun sebentar dan
kemudian dengan pelan-pelan mundur. Setelah beberapa langkah mudur ia
membalikkan badan kuda yang ditungganginya dan berjalan menuju ke arah
berkumpulnya pasukan Alhusain r.a. badannya terasa gemetar karena
menahan perasaan berat. Baik pasukan dari Kufah maupun rombongan
Alhusain r.a. melihat peristiwa ini dengan penuh tanda tanya. Suasana
sunyi senyap, yang terdengar hanya dengus kuda-kuda pasukan dari Kufah
dan langkah-langkah kuda Alhurr bin Yazid yang menuju ke arah Alhusain
r.a. Tiba-tiba, seorang anggota pasukan Kufah yang tidak dapat lagi
melihat keadaan yang aneh itu setengah berteriak berkata kepada Alhurr:
“Demi Allah, belum pernah selama ini aku melihat engkau bertindak demikian dalam suatu peperangan…”
Semua mata diarahkan kepada orang yang mengatakan kata-kata tersebut. Kemudian ia melanjutkan kata-katanya:
“Sungguh, kalau aku ditanyai orang, siapakah orang Kufah yang paling
gagah berani? Hmmm, maka tanpa ragu-ragu lagi aku akan menjawab: ‘Yang
paling gagah di antara perajurit Kufah adalah Alhurr bin Yazid’ …”
Mendengar kata-kata orang itu maka Alhurr yang memandang dan berjalan
menuju ke tempat Alhusain r.a. kemudian berhenti dan berpaling ke arah
datangnya suara itu. Di hadapan anggota-anggota pasukan Umar bin Saad
kemudian Alhurr bin Yazid berkata dengan suara lantang:
“Demi Allah. Aku telah menyuruh hatiku untuk melakukan pilihan satu
di antara dua: surga atau neraka. Dan hasilnya, aku tidak akan
mengutamakan sesuatu yang lain di atas surga. Ya, walaupun untuk
mendapatkan itu aku harus dicincang dan dibakar hidup-hidup …!”
Selesai mengucapkan kata-kata itu, sebelum pasukan Umar bin Saad
dapat berbuat sesuatu, Alhurr telah membalikkan lagi badan kudanya dan
segera memacu tunggangannya itu cepat-cepat menuju ke tempat Alhusain
r.a. Tepat di depan Alhusain r.a. kuda itu dihentikannya. Segera ia
terus dan dengan emosi ia mengatakan kepada cucu Rasul Allah s.a.w.
tersebut:
“Wahai putera Rasul Allah s.a.w. semoga Allah menjadikan diriku ini sebagai penebusmu dalam bahaya.”
Alhusain r.a. belum lagi sempat menyahut dan masih terheran-heran,
tetapi Alhurr sudah melanjutkan kata-katanya dengan mengucapkan:
“… akulah orangnya yang menyebabkan engkau tidak dapat kembali pulang
ke Hejaz untuk menyelamatkan dirimu. Akulah yang terus menekan engkau
sehingga engkau tiba di tempat ini dan menghadapi keadaan seperti ini.
Demi Allah, ya putera Rasul Allah, aku telah melaksanakan tugas itu
dengan suatu keyakinan, bahwa mereka akan menerima salah satu dari tiga
saran yang telah kau ajukan itu. Aku mempunyai keyakinan bahwa mereka
tidak akan menolak seluruh saranmu itu. Ya Allah, kalau saja aku tahu
bahwa mereka pasti tidak akan mau menerima saran-saran yang kau ajukan
itu, tentu mulai dari kemarin itu juga aku tidak akan sudi menjalankan
perintah untuk menghalang-halangi kau!”
Kata-kata tersebut disampaikan oleh Alhurr dengan emosi dan keras
sehingga terdengar oleh kedua kelompok pasukan itu. Dengan suara yang
jelas dan tegas kemudian ia melanjutkan:
“Kini, Alhusain, aku datang kepdamu untuk menyatakan taubatku
terhadap tindakan yang telah aku lakukan itu sehingga menempatkan engkau
dalam keadaan sesulit ini. Sekarang aku menyediakan jiwa dan ragaku
untuk memberikan bantuan padamu sehingga aku mati di hadapanmu!”
Pernyataan Alhurr bin Yazid itu disambut dengan suara gemuruh oleh
pasukan Alhusain r.a.. Tanpa menghiraukan sambutan orang-orang Alhusain
r.a. itu, Alhurr kemudian berbalik menghadap ke arah pasukan Umar bin
Saad. Dengan berteriak-teriak ia mengatakan:
“Wahai warga Kufah! Alangkah buruk perbuatan yang kalian lakukan.
Kalian telah memanggil Alhusain dengan berbagai macam bujukan dan
rayuan. Dan sekarang, ketika ia datang untuk memenuhi panggilanmu itu,
maka kalian membiarkannya begitu saja diserahkan pada tangan musuhnya.
Bukankah kalian telah menyatakan akan berjuang mati-matian untuk membela
Alhusain? Apa kenyataannya sekarang? Kalian datang untuk menyerang dan
membunuhnya! Kalian telah mengepung dia! Kalian telah melarang dia untuk
menjelajahi bumi Allah yang luas ini. Kalian telah menempatkannya
sebagai tawanan yang sama sekali tidak berdaya untuk menolak bahaya yang
akan mencelakakannya…”
Suaranya makin parau karena teriakan-teriakan itu, tetapi Alhurr terus melanjutkan kata-katanya:
“Demikian sampai hati kalian untuk menghalang-halangi Alhusain dan
keluarganya serta para sahabatnya untuk mengambil air di sungai Euphrat
yang mengalir dengan derasnya itu. Padahal orang-orang Yahudi,
orang-orang Kristen dan Majusi dapat mengambil dan minum airnya dengan
bebas. Bukan mereka itu saja, bahkan babi hutan dan anjing yang najis
pun dapat berendam sesuka hati mereka di sungai itu. Tetapi…, kalian
telah mengharamkannya bagi keluarga Rasul Allah dan kalian tega untuk
membiarkan mereka sampai mati kehausan. Bukan main buruk perbuatan
kalian terhadap keluarga Rasul Allah s.a.w.”
“Ya Allah…,” keluh Alhurr, “semoga kalian tidak akan dapat minum pada
saat kalian merasakan dahaga di tengah padang pasir kelak…” Tapi Alhurr
tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Beberapa anak panah telah dilepas
oleh pasukan Umar bin Saad dan ditujukan ke arah Alhurr bin Yazid dan
rombongan Alhusain r.a.. Pelepasan anak panah ini ternyata menandai
dimulainya suatu pertempuran yang sama sekali tidak seimbang antara dua
pasukan. Empat ribu anggota pasukan berkuda dan berjalan kaki bersenjata
lengkap berhadapan dengan 80 orang yang hanya mengandalkan kepada
kebenaran dan kepercayaan kepada Allah s.w.t. Segera pasukan kecil di
bawah pimpinan Alhusain r.a. mulai membalas dengan segala kemampuan
mereka yang ada. Sedangkan mengenai Alhurr bin Yazid, sejak detik itu ia
selalu berada di samping Alhusain r.a. hingga akhirnya gugur dalam
menegakkan kebenaran yang diridhoi oleh Allah s.w.t. ( Bersambung ke 2/2
)
10 Muharram : Syahidnya Imam Husein di pertempuran di Karbala (2/2)
JALAN PERTEMPURAN KARBALA
imageSeorang penulis sejarah dan tokoh Islam, Atthobari, telah
menulis bahwa dalam pertempuran antara dua kekuatan yang tidak seimbang
itu, seorang demi seorang sahabat Alhusain r.a. maju mendesak ke depan
menghadapi hujan panah dan sasaran tombak serta kibasan pedang.
Kegagah-beranian mereka yang luar biasa saja yang memungkinkan mereka
untuk bertahan melawan gelombang ribuan pasukan Umar bin Saad itu sampai
tengah hari. Padahal pertempuran dimulai pada lepas fajar. Ketika saat
dzohor tiba, Alhusain r.a. tidak lupa segera memerintahkan anggota
pasukannya untuk menghentikan perlawanan sebentar guna dapat
melaksanakan sholat dzohor.
Segera setelah selesai melakukan sholat itu, mereka kembali
melanjutkan pertempuran. Tetapi sebagaimana sudah diduga semula,
betapapun juga kegagah-beranian para pengikutnya, tetapi jumlah mereka
yang kecil menghadapi lawan yang demikian besar, akhirnya tak dapat
berlanjut. Pasukan Alhusain r.a. yang selalu mengelilingi putera Rasul
Allah s.a.w. itu akhirnya satu per satu gugur hingga habis semua.
Tinggal lagi di antara rombongan Alhusain r.a. itu kemudian para
anggota keluarga Alhusain r.a. sendiri. Majulah kemudian yang pertama di
antara keluarga Alhusain r.a. itu, Abdullah,putera Muslim bin Aqil.
Dengan penuh ketabahan ia menyerbu ke depan sambil mengucapkan syair
yang berbunyi:
Bertemu ayahku aku hari ini
dan pemuda-pemuda yang gugur membela Nabi
Mereka adalah keturunan yang mulia
berbudi pekerti, bukan pendusta…
Menyusul kemudian tampil maju ke depan Abdullah, putera Alhasan bin
Ali yang langsung disusul oleh Ali Al-akbar putera Alhusain r.a.,
seorang muda remaja yang baru mencapai usia 19 tahun. Mereka menerjang
tanpa mengenal takut sedikit pun menghadapi musuh yang jauh lebih kuat.
Dengan wajah yang memancar sebagai pencerminan suatu keberanian, putera
Alhusain r.a. tersebut maju dengan pedang terhunus di tangan kanan. Juga
di tengah bahaya maut ini ia terus bersyair dengan mengatakan:
Aku putera Husain bin Ali
Dari ahlul-bait yang terdekat pada Nabi
kutebaskan pedangku hingga melengkung
pukulan pemuda Bani Hasyim yang patut
hingga kini tetap aku pelindung ayahku,
Demi Allah, diperintah anak Ziyad aku tak mau.
Dengan mendendangkan syair ini ia terus menggebu-gebu menebaskan
pedangnya ke tangah-tengah musuh. Riwayat menyatakan bahwa demikian kuat
tenaga anak muda ini dan tangkas ia memainkan pedangnya, sehingga
menurut taksiran tidak kurang dari 200 anggota pasukan Umar bin Saad
yang berhasil dibunuhnya. Selesai menjalankan tugasnya dengan gagah
berani itu Ali Al-akbar kemudian menyempatkan diri untuk menghadap
ayahnya sambil berseru:
“Oh, ayah, aku haus sekali …”
Mendengar permintaan anaknya itu Alhusain r.a. yang tengah memusatkan
tenaga dan keberaniannya menghadapi musuh sempat meneteskan air mata.
“Sabarlah, anakku sayang. Tidak lama lagi kakekmu Rasul Allah akan
memberimu minum dari gelasnya…,” kata Alhusain r.a. dengan penuh kasih
sayang. Mendengar jawaban ini, tanpa menghiraukan lagi kehausan yang
mencekiknya, Ali Al-akbar kembali terjun ke medan laga. Segenap
tenaganya dikerahkan untuk dapat lebih banyak menghabiskan riwayat
musuh-musuhnya. Tetapi sepucuk anak panah tak lama kemudian menembus
dadanya. Ia terjatuh tersungkur sambil memegangi bagian dada yang
ditembus anak panah itu tepat di hadapan ayahnya.
Tanpa menghiraukan keadaan di sekelilingnya, Alhusain r.a. segera
mendekati anaknya dan sambil memegang badan Ali Al-akbar berkatalah ia:
“Semoga Allah s.w.t. membunuh mereka yang membunuh engkau, anakku.
Oh, alangkah beraninya mereka menentang Allah s.w.t. dan menginjak-injak
kehormatan Rasul-Nya…”
Kata-kata Alhusain r.a. ini rupanya tak sempat lagi didengar oleh Ali
Al-akbar, karena ia telah mendahului gugur di medan perang Karbala ini.
Rupanya para wanita yang berada dalam kemah-kemah rombongan Alhusain
r.a. terus-menerus mengintip jalan pertempuran itu dari jarak yang
begitu jauh. Tanpa menghiraukan bahaya desingan panah, Sitti Zainab yang
melihat dengan jelas apa yang terjadi atas diri Ali Al-akbar, segera ia
berlari meninggalkan kemahnya dan menuju ke tempat putera Alhusain r.a.
itu gugur. Dengan berteriak-teriak:
“Oh, kekasihku… Ooooh, anak saudaraku,” ia kemudian memegang kepala
Ali Al-akbar yang penuh berlumuran darah. Dipeluk dan diciumnya tubuh
yang bermandikan darah itu dengan disertai tangis dan ratap yang
mengibakan tanpa menghiraukan sama sekali bahwa di sekelilingnya sedang
berkecamuk suatu pertempuran antara kekuatan yang kecil sekali melawan
kekuatan besar. Alhusain r.a. yang segera menyadari bahaya ini segera
memegang tangan adiknya dan membawanya kembali untuk masuk ke dalam
kemah.
Adegan ini menjadi bertambah memilukan karena dari dalam kemah
terdengar tangis bayi yang tiada henti-hentinya. Tangisan itu keluar
dari mulut Ali Al-Asghar yang masih sangat kecil karena merasakan haus
yang luar biasa. Alhusain r.a. yang datang mengantar adiknya seketika
lupa akan tugasnya dalam pertempuran. Tangisan kesedihan anak bayinya
itu telah menggerakkan hati seorang ayah. Segera diangkatnya anaknya dan
dibawanya ke luar. Sambil menggendong anaknya itu Alhusain r.a. dengan
berteriak mengatakan kepada orang-orang Kufah:
“Wahai warga Kufah! Tidakkah kalian takut pada siksaan Allah? Jika
aku ini dalam pandanganmu adalah seorang yang dholim dan layak untuk
dihukum mati, apa salah anak kecil yang masih menyusu ini, yang belum
tahu apa-apa sama sekali? Mengapa kalian haramkan dia untuk mendapat
setetes air untuk diminumnya? Tidakkah kalian lihat betapa kejam
kehausan yang telah mencekam dirinya? Tidakkah kalian takut pada siksaan
Allah kelak?” Demikian teriakan Alhusain r.a. penuh rasa kejengkelan
dan kegemasan sambil mengacungkan bayi di bawah terik matahari dan
kepulan debu akibat pertempuran yang masih terus berlangsung, meskipun
sudah mulai mereda karena makin habis anggota rombongan Alhusain r.a.
Bayi itu terus menangis melampiaskan suara memilukan.
Ternyata Alhusain r.a. telah berteriak pada orang-orang yang membuta
dan memekak. Mereka sudah tidak mendengar lagi kata-kata “Allah”.
Syaithan rupanya sudah terlalu dalamt merasuki jiwa mereka. Bahkan
seorang prajurit Kufah telah menyambut pandangan berupa anak kecil dan
tangisan yang minta dibelas-kasihani itu dengan merentangkan panahnya
dan melepaskan anak panah langsung ditujukan kepada bayi yang berada di
tangan Alhusain r.a. tersebut. Sambil melepaskan anak panah yang lepas
dari busurnya itu prajurit yang sudah menjadi syaithan bertubuh manusia
itu berseru dengan geram:
“Inilah air minum yang dimintanya itu!”
Anak panah itu lepas dari busurnya dan menembus perut anak yang masih
suci bersih. Suatu jeritan pendek menandai kesakitan sekejap keluar
dari mulut Ali Al-asghar, karena sebentar kemudian anak itu meninggal
dunia. Hilang kehausannya bersama dengan hilangnya nyawa dari tubuhnya
yang terkena anak panah tersebut. Terkejut dan tertegun Alhusain r.a.
memandangi anaknya yang berlumuran darah dan masih berada dipelukannya
itu. Tak percaya ia bahwa manusia bisa berbuat sedemikian kejam.
Lagi-lagi, tanpa disadarinya air mata mengucur dari matanya bercampur
dengan keringat dan debu yang sudah mengotori wajahnya. Dibiarkannya air
mata itu mengalir dan sambil memandang ke langit ia berkata:
“Ya Allah, jika Engkau memang telah menahan kemenangan bagi kami di
dunia ini, maka berilah kiranya kami kemenangan yang lebih baik. Ya
Allah, jatuhkanlah pembalasan-Mu yang setimpal terhadap orang-orang yang
durhaka dan dholim itu…” Kemudian dengan perlahan-lahan ia berjongkok
dan meletakkan anaknya yang sudah tidak bernyawa itu di tanah berpasir,
di samping saudara-saudaranya yang telah terlebih dahulu gugur.
ALHUSAIN R.A. DIKEROYOK
Pemandangan yang seharusnya mengharukan orang-orang yang normal,
ternyata sama sekali tidak merubah semangat orang-orang Kufah, anggota
tentara Yazid itu. Segera dari berbagai jurusan mereka mengepung
Alhusain r.a.. Alqasim, putera Al-hasan bin Ali melihat bahaya besar
yang sedang mengancam pamannya, segera ia menyerbu untuk melindungi
pamannya itu. Padahal Alqasim sebenarnya belum layak untuk maju ke medan
pertempuran. Ia masih seorang kanak-kanak dan usianya baru pada awal
belasan tahun. Sitti Zainab yang melihat tindakan Alqasim itu segera
berdiri untuk mencoba menghalang-halangi. Tetapi ternyata gerakannya
kalah cepat dengan gerakan seorang prajurit Kufah yang mengayunkan
pedangnya ke arah Alhusain r.a. Pedang besar itu berayun ke leher
Alhusain r.a. sedang Alqasim yang kecil itu berusaha menahan tebasan
tersebut dengan tangannya sambil berseru:
“Hai bedebah! Apakah engkau akan membunuh painanku?”
Dengan mata kepalanya sendiri Sitti Zainab menyaksikan pedang besar
yang hendak menebas leher Alhusain r.a. itu ternyata telah menebas
tangan anak kecil tersebut. Sitti Zainab memekik melihat pemandangan
yang mengerikan itu. Melihat salah satu tangannya putus, maka Alqasim
berteriak kesakitan:
“Oh, ibu…, aduh ibu…” Ia kemudian jatuh tertelentang ke tanah.
Mendengar keluh kesakitan anak itu Sitti Zainab kemudian menyahut dari
jauh:
“Anakku! Aku datang, anakku!” Segera ia berlari mendekati Alqasim.
Tetapi tiba-tiba ia menengadah dan melihat Alhusain r.a. sudah berdiri
tegak di dekat kepala Alqasim. Berkatalah Alhusain r.a. kepada anak yang
sudah kehilangan salah satu tangannya itu:
“Sabarlah, wahai putera saudaraku, menghadapi apa yang telah menimpa
dirimu. Sebentar lagi engkau pasti akan bertemu dengan ayahmu dan
orang-orang soleh yang bersama dengan ayahmu. Demi Allah, berat sekali
bagi pamanmu ini untuk mendengar panggilanmu itu tanpa dapat memberikan
pertolongan kepadamu. Demi Allah…, hari ini benar-benar hari yang banyak
sekali dengan pembunuh dan sedikit sekali dengan penolong…”
Perlahan-lahan kemudian diangkatnya Alqasim dan didekapkannya di
dadanya Sesudah itu anak yang juga telah meninggal dunia itu dilktakkan
di samping putera-puteranya yang telah terlebih dahulu gugur.
Gugurlah kemudian satu per satu putera-putera saudara-saudara
Alhusain r.a. yang lain laksana gugurnya bunga-bunga yang masih segar
ditimpa kekeringan yang tiba-tiba menghiasi persada Karbala yang gersang
dan kering itu. Al-Abbas, Ja’far, Abdullah, Usman, Muhammad Al-asghar
dan Abubakar beserta kedua anak Sitti Zainab, masing-masing On dan
Muhammad berguguran. Menyusul kemudian putera Alhasan bin Ali r.a.,
yaitu Abubakar dan putera paman Alhusain r.a., Aqil bin Abitholib, yaitu
Ja’far, Abdurrahman dan Abdullah. Belum pernah pada suatu tempat
demikian banyak yang gugur keluarga Rasul Allah s.a.w. pada waktu yang
demikian singkat. Sebagian besar mereka itu adalah orang-orang yang
masih sangat muda, bahkan anak-anak, bunga-bunga yang sedang kuncup.
Walaupun pertempuran makin tidak seimbang, tetapi perkelahian tidak
kalah dahsyatnya. Sisa-sisa rombongan Alhusain r.a. yang makin kecil itu
memberikan perlawanan yang makin sengit. Darah membasahi bumi Karbala.
Udara dipenuhi oleh debu dan bau darah segar yang anyir. Burung-burung
yang semula tidak nampak segera terbang berputar-putar di angkasa
Karbala setelah mencium bau darah manusia yang segar itu.
Perempuan-perempuan yang ada di kemah-kemah sudah tidak terdengar lagi
tangisnya; airmata rupanya telah kering dan duka sudah terlalu mendalam.
Segenap anggota keluarga Alhusain r.a. sekarang telah gugur semua. Pada
saat itulah maka tiba-tiba sepuluh orang anggota pasukan Kufah maju
menyerbu ke kemah kediaman Alhusain r.a. dengan tujuan untuk melakukan
perampokan dan perampasan atas harta Alhusain r.a. yang masih ada.
Mereka berpesta pora mengambili dan mengangkuti apa saja yang ada dalam
kemah tersebut.
Melihat tindakan biadab itu, Alhusain r.a. segera meloncat dan menyerbu orang-orang yang sedang berpesta pora itu.
“Cilaka kalian. Kalau kalian sudah tidak punya agama lagi, berlakulah
seperti orang merdeka yang berjiwa luhur dan jangan bertingkah laku
seperti budak-budak belian yang berjiwa hina!” kata Alhusain r.a. dengan
penuh kegeraman.
Kemarahan itu ternyata telah menaikkan lagi tenaga dan semangat
Alhusain r.a. Serbuannya membuat kalang kabut mereka yang sedang berebut
harta itu. Peristiwa ini merupakan puncak dari pertempuran Karbala.
Tiga orang, Alhusain r.a. dan dua sahabatnya, berhadapan dengan 3.000
orang prajurit musuh.
GUGURNYA ALHUSAIN R.A
Pertempuran di Karbala yang bermula sejak fajar itu berlangsung terus
sampai petang. Pasukan kecil yang dipimpin oleh Alhusain r.a. makin
habis. Ketika habis Asar tinggal 3 orang yang masih mampu memberikan
perlawanan. Dan ketika sinar matahari sudah mulai melembut menjelang
rembang petang, akhirnya tinggal Alhusain r.a. sendiri yang terus
melakukan perlawanan. Seorang dikerubuti oleh tidak kurang dari 3.000
orang.
Ketika melihat bahwa dari rombongan Alhusain r.a. tinggal seorang,
yaitu Alhusain r.a. sendiri, maka pasukan Ubaidillah ibn Ziyad yang
sudah kerasukan setan tiba-tiba seperti ragu-ragu. Tetapi Alhusain r.a.
tidak memperdulikan sikap musuhnya itu. Dengan pedang di tangan yang
sudah penuh berlumuran darah, baju yang sudah lusuh, berdebu dan
koyak-koyak serta muka hitam mengkilat karena keringat dan debu,
Alhusain r.a. terus melakukan penyerangan. Siapa saja yang ada di
hadapannya, pasukan pejalan kaki atau berkuda diserangnya. Bagaikan
seekor harimau yang sudah luka disertai teriakan membesarkan nama Allah
s.w.t., ia mengibaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke
belakang. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.
Tak seorang pun di antara tentara Kufah yang beribu jumlahnya itu
berani menyerbu dan mendekati. Mereka mencoba menghindar dan dari jarak
agak jauh baru mereka melepaskan anak-anak panah. Petang itu medan
Karbala seolah-olah kejatuhan hujan. Tetapi bukan hujan air. Yang
dihujani adalah tubuh Alhusain r.a. seorang diri dan yang menghujani
adalah anak-anak panah yang berdesing lepas dari busur-busur orang-orang
Kufah itu. Demikian hebat anak panah menghujani tubuh cucu Rasul Allah
s.a.w., sehingga orang yang menyaksikan peristiwa tersebut melihat
Alhusain r.a. seolah-olah berselubung kulit landak.
Matahari makin condong ke barat, udara makin menyejuk. Tetapi hati
Alhusain r.a. semakin panas dan juga darah panas mengalir dari
luka-lukanya. Bagaimanapun hebat syaitan telah menyelusup ke dalam tubuh
orang-orang Kufah itu, rupanya ada juga sebetik ketakutan di hati kecil
mereka menghadapi turunan langsung Rasul Allah s.a.w. itu. Mereka
dihinggapi kebimbangan untuk menjadi pembunuh Alhusain r.a.. Dalam
keadaan yang berlarut-larut inilah kemudian seorang bernama Syammar dzil
Jausyan, seorang pembenci ahlul-bait khususnya Alhusain r.a. akhirnya
tidak dapat mengekang nafsu haus-darahnya. Ia makin panas melihat
Alhusain r.a. tidak juga sudi menyerah, sedangkan kawan-kawannya
ragu-ragu untuk memberikan “tembakan akhir” untuk mematikan Alhusain
r.a. Dengan suara lantang ia kemudian berseru:
“Hayo, apa kalian! Kepung dan seranglah dengan serentak dia!”
Hujan anak panah makin menghebat. Kuda tunggangan Alhusain r.a.
akhirnya tak dapat bertahan lagi dan jatuh tertelungkup dengan
mengeluarkan ringkikan maut yang mengerikan. Tanpa memperdulikan
kejatuhan kudanya, Alhusain r.a. kemudian tegak berdiri terus
melanjutkan perlawanannya. Sekarang bukan lagi anak panah, tetapi
tebasan pedang dan tusukan tombak bertubi-tubi menyerangnya dari segala
jurusan. Darah membasahi seluruh tubuhnya. Jubah yang dikenakannya sudah
berubah warna merah kecoklat-coklatan. Sehari ia bertempur tiada
hentinya. Suatu dorongan ajaib rupanya telah membuat ia tidak kenal
lelah dan tak ingat haus. Tetapi, bagaimanapun juga batas kekuatannya
tidak bisa terlewati lagi. Sepucuk anak panah beracun tiba-tiba menancap
dalam tubuhnya tepat mengenai jantungnya. Pertama kali orang mendengar
ia mengeluarkan erangan kesakitan. Masih sempat ia memegang anak panah
yang menancap itu dan dengan sisa tenaga yang masih ada ia mencabut anak
panah tersebut sambil mengeluarkan suara mengerang, karena darah telah
memenuhi kerongkongannya:
“Oh, Tuhanku, ya Ilahi, engkau tahu mereka telah membunuh putera
nabi-Mu…, dan di dunia ini tiada putera nabi lain daripada aku…” Anak
panah itu tercabut juga diikuti oleh darah yang menyembur. Badannya
terasa makin lemah dan lesu. Akhirnya Alhusain r.a., putera Sitti
Fatimah Azzahra, cucu Rasul Allah s.a.w. itu roboh mencium bumi Karbala
yang sudah disirami oleh darah banyak ahlul-bait dan putera-putera Bani
Hasyim.
Gugurlah cucu Rasul Allah s.a.w, itu setelah melakukan perlawanan
mati-matian sampai pada detik yang terakhir. Suasana tiba-tiba hening.
Burung-burung gagak pemakan mayat yang berterbangan di atas medan
pertempuran Karbala dengan mengeluarkan suara-suara bergaok yang
mengerikan. Juga anggota-anggota pasukan Umar bin Saad yang semula hiruk
pikuk tiba-tiba berhenti berteriak-teriak dan menyaksikan rubuhnya
putera Rasul Allah s.a.w. itu.
Tetapi peristiwa yang mencekam itu tidak berlangsung lama. Syammar
bin Dzil Jausyan yang sangat membenci ahlul bait itu segera berteriak:
“Hayo! Mengapa kalian melongo saja? Hayo habiskan jiwanya!” Perintah
nya ini segera menyadarkan anak buahnya yang tengah terpukau itu.
Seorang yang bernama Zar’ah bin Syarik tiba-tiba maju dan menebaskan
pedangnya. ke arah pundak Alhusain r.a. yang sebelah kiri hingga
tercerai dari badannya. Alhusain r.a. yang sudah tidak berdaya makin
bermandikan darah yang masih hangat. Melihat itu Syammar ibnu Dzil
Jausyan kemudian datang mendekati tubuh Alhsain r.a. yang sudah
tergeletak tak berdaya itu. Pedang yang ada di tangannya kemudian
diangkat tinggi-tinggi dan dengan kuat diayunkannya ke leher Alhusain
r.a. yang tertelungkup di tanah. Sekali tebas terpisahlah kepala dari
tubuh. Tanpa ragu-ragu segera dipegangnya rambut Alhusain r.a. dan
diangkatnya kepala itu tinggi-tinggi. Dengan lagak kemenangan dan sinar
mata yang mencerminkan jiwa kesetanan, kepala itu kemudian dibawanya
menuju ke tempat komandan pasukan, yaitu Umar bin Saad. Ribuan pasang
mata prajurit Kufah mengikuti peristiwa mengerikan ini. Sampai di dekat
Umar bin Saad. Syammar kemudian menyerahkan kepala Alhusain r.a.
Komandan pasukan Kufah menerimanya untuk “dipersembahkannya” kepada
Ubaidillah bin Ziyad di Kufah.
KISAH LAIN TENTANG GUGURNYA ALHUSAIN R.A
Di samping versi di atas ada kisah lain yang menggambarkan
detik-detik Alhusain r.a. terakhir pada pertempuran di Karbala itu.
Dikisahkan bahwa ketika tinggal Alhusain r.a. seorang diri melakukan
perlawanan terakhir, maka setelah bertempur hampir sepanjang hari, cucu
Rasul Allah s.a.w. itu akhirnya tidak dapat menahan lagi kelelahan dan
kehausannya.
Sesungguhnya pada detik-detik yang demikian itu sangat mudah bagi
anggota-anggota pasukan Umar bin Saad untuk menamatkan riwayat Alhusain
r.a. Tetapi, bagaimanapun juga tersesat hati mereka, tokh ada sekelumit
perasaan yang tertinggal di hati mereka. Yaitu bahwa yang ada di
hadapannya itu adalah Alhusain r.a., cucu kesayangan Rasul Allah s.a.w.
Pasukan yang terdiri dari beberapa suku kabilah itu rupanya enggan
dan takut untuk menjadi algojo putera dari keturunan agung dan suci itu.
Masing-masing suku secara diam-diam mengharapkan agar bukan orang dari
sukunyalah yang tercatat dalam sejarah sebagai pembunuh keturunan
langsung Rasul Allah s.a.w. itu. Melihat musuh-musuhnya yang terdiam dan
ragu-ragu itu, akhirnya Alhusain r.a. menyadari bahwa ia dalam keadaan
sangat kehausan. Dengan setengah sadar ia kemudian berjalan dengan
lunglai menuju ke tepi sungai Euphrat.
Tetapi usahanya itu telah dihalang-halangi. Seorang dari Bani Tamim
bernama Umar Atthohawi ketika melihat Alhusain r.a. mendekati sungai
Euphrat, kemudian mengangkat busurnya, memegang tali busur dan
melepaskan anak panah yang akhirnya mengenai pundak Alhusain r.a.
sebelah kiri. Tindakan tersebut kemudian diikuti oleh pukulan pedang
temannya yang bernama Zur’ah bin Syarik Attamimi, tetapi yang berhasil
ditangkis oleh Alhusain r.a. dengan tangannya. Dan tangan Alhusain r.a.
putus karenanya. Sinan bin Anas kemudian tidak mau ketinggalan dan
langsung menyerbu ke arah Alhusain r.a. dan menikam lambung cucu Rasul
Allah s.a.w. yang sudah hampir sama sekali tidak berdaya itu, Alhusain
r.a. rubuh ke tanah.
Belum puas dengan tindakannya itu, Sinan bin Annas kemudian
menyelesaikan “tugas”-nya dengan menebas batang leher Alhusain r.a. yang
sudah tertelungkup di tanah. Setelah itu dipungutnya kepala yang sudah
terpisah dari badan tersebut dan diserahkan kepada salah seorang
temannya bernama Khauli bin Yazid Al-usbuhi. Sebab pembunuh terakhir
Alhusain r.a. itu kemudian sibuk “mengurusi” tubuh Alhusain r.a. untuk
mengambil celana, terompah dan pedang yang dikenakan dan dipergunakan
oleh Alhusain r.a.
Demikianlah suatu versi yang lain dari kisah yang menyedihkan
mengenai akhir kehidupan dari putera Ali bin Abitholib r.a. dan cucu
tersayang Rasul Allah s.a.w. di Karbala, tidak jauh dari Kufah di
wilayah Irak sekarang ini.
Gugurnya Alhusain r.a. menandai berakhirnya pertempuran tanggal 10
Muharram tahun 61 Hijriyah di Karbala yang berlangsung sehari suntuk
antara 4.000 orang anggota pasukan Umar bin Saad dari Kufah dan
sekelompok tidak lebih dari 80 orang anggota rombongan Alhusain r.a.
Pedang-pedang dibersihkan dan dimasukkkan ke dalam sarungnya.
Busur-busur disarangkan kembali ke pundak.
Tombak-tombak dibersihkan ujungnya dari darah yang mulai mengering.
Tidak ada lagi sudah sasaran untuk senjata-senjata yang digerakkan oleh
tangan-tangan yang dikendalikan jiwa yang dihuni oleh syaitan itu.
Jenazah para pahlawan, anggota rombongan Alhusain r.a. yang bertebaran
di padang Karbala itu bisa dibedakan dengan jelas dari mayat-mayat
anggota pasukan Umar bin Saad yang tidak sedikit jumlahnya.
Jenazah-jenazah pasukan Alhusain r.a. semuanya sudah tidak berkepala
lagi karena selalu ditebas dengan gemasnya oleh pasukan-pasukan dari
Kufah. Tinggal lagi tubuh-tubuh yang tidak berkepala itu berserakan. Di
angkasa burung-burung buas berterbangan, siap untuk berpesta pora dengan
mayat yang sedemikian banyaknya.
Pada saat demikian itulah, menurut suatu riwayat yang dikisahkan oleh
penulis sejarah Islam terkenal Atthobari dan Ibnul Atsir, pasukan Umar
bin Saad yang masih segar kemudian berebut beramai-rarnai menggerayangi
jenazah-jenazah para pahlawan tersebut untuk mengambil apa saja yang
bisa mereka bawa.
Kuda dan onta yang sudah tidak bertuan lagi mereka kejar-kejar untuk
mereka miliki. Senjata yang sudah lepas dari tangan-tangan yang tak
bernyawa mereka angkuti. Dan belum puas dengan itu semua, mereka
kemudian mengarahkan pandangannya ke perkemahan para wanita dan
anak-anak.
Tanpa perintah komandannya, tetapi diperintah oleh syaitan yang
bersemayam dalam hati mereka, kemudian mereka menyerbu kemah-kemah kaum
wanita yang sudah ditinggalkan sama sekali oleh kaum lelaki itu. Berpacu
mereka saling mendahului untuk mendapatkan barang yang terbaik dan
terbanyak.
Segera dari dalam kemah itu terdengar jeritan-jeritan dan tangisan
perempuan untuk sebentar kemudian diikuti oleh wanita yang menggendong
anak-anak berlarian ke luar. Tetapi orang-orang tetap mengejar mereka
dan melucuti perhiasan dan pakaian yang dikenakan oleh wanita dan
anak-anak itu.
Melihat tingkah polah anggotanya itu, Umar bin Saad tersentuh
hatinya. Segera diperintahkannya agar mereka menghentikan
tindakan-tindakannya itu.
“Hayo, kembalikan semua barang-barang wanita-wanita itu,”
perintahnya. Tetapi mabuk kemenangan dan mabuk harta menyebabkan
orang-orang itu sama sekali tidak mematuhi perintah atasannya.
Demikian menurut apa yang diriwayatkan oleh Atthobari dan Ibnu Atsir
mengenai detik-detik terakhir peristiwa hitam yang terjadi di Karbala
itu.
Hari semakin gelap. Di ufuk Barat tinggal lagi cahaya merah tua.
Burung-burung pemakan mayat yang berpesta mulai meninggalkan tempat
kembali ke sarangnya. Sebentar kemudian tibalah waktu maghrib.
Perempuan-perempuan anggota rombongan Alhusain r.a. melakukan sholat
maghrib dalam keadaan yang paling menyedihkan. Tanpa pemimpin dan tanpa
Imam mereka. Mereka mengadukan nasibnya sekarang kepada Allah s.w.t.
Suasana berkabung dan sedih mencekam wanita dan anak-anak seperti
serombongan anak ayam yang ditinggalkan tiba-tiba oleh induknya dan
dibayangi di atas oleh burung elang yang kelaparan. Tidak jauh di depan
kemah-kemah mereka terserak jenazah orang-orang yang sangat mereka
cintai terdiri dari sanak- saudara dari rumpun Bani Hasyim, kerabat yang
paling dekat dari Rasul Allah s.a.w.
Segera bulan menggantikan matahari menyinari padang Karbala yang
mengerikan itu. Burung-burung ganas digantikan oleh anjing-anjing liar
padang pasir. Suara aungan mereka menambah seram malam 10 Muharram itu.
Mereka mencium bau mayat-mayat segar dan segera akan berpesta pora.
Lolongan kegembiraan mereka memanggil kawan-kawannya lebih
menyatat-nyayat hati orang-orang perempuan yang duduk termangu-mangu
sambil mengucapkan kata-kata membesarkan nama Allah s.w.t. dan mohon
ampun kepada-Nya. Perlahan-lahan mereka keluar kembali menuju ke bekas
medan laga. Tanpa takut dan ngeri, di bawah cahaya bulan mereka
merunduk-runduk melihat mayat dari satu jenazah ke jenazah yang lain.
Dengan kepiluan dan kasih sayang dan sedu sedan mereka mengumpulkan
tangan yang telah hilang untuk didekatkan dengan tubuh yang semuanya
sudah tidak berkepala lagi itu. Tangan suami tangan kekasih, tangan
kakak atau adik yang tercinta. Kemudian mereka duduk termangu menunggui
sisa-sisa bekas orang-orang yang paling mereka kasihi dan mengasihi
mereka.
Sementara itu tidak jauh dari tempat kedudukan itu terhimpun sisa
anggota pasukan Ubaidillah bin Ziyad. Beramai-ramai mereka mengelilingi
api unggun. Bernyanyi, tertawa dan bersorak serta berpesta pora sambil
menghitung-hitung harta hasil rampokan mereka masing-masing. Di samping
itu mereka juga sibuk menghitung kepala-kepala manusia yang mereka bawa
seperti menjinjing kepala kambing. Komandan pasukan dari Kufah itu
kemudian memerintahkan agar kepala-kepala anggota rombongan Alhusain
r.a. itu dikumpulkan untuk dibawa ke Kufah guna diserahkan sebagai
barang bukti kesetiaan mereka kepada Ubaidillah bin Ziyad.
Kitab “Asadul-Ghabah” mengungkapkan, bahwa komandan pasukan, Umar bin
Saad di samping berhasil menyerahkan kepala Alhusain r.a. juga telah
menyerahkan tidak kurang dari 71 kepala para sahabat dan keluarga
Alhusain r.a. yang telah gugur di Karbala itu. Ternyata kepala-kepala
yang sudah terpisah dari tubuhnya itu dijadikan bahan rebutan oleh
suku-suku Arab yang berada di sekitar Kufah. Mereka itu ingin memperoleh
bukti bahwa mereka telah berjasa menumpas rombongan Alhusain r.a. untuk
kemudian dapat digunakan sebagai usaha mencari muka dan menjilat kepada
Ibnu Ziyad di Kufah atau Yazid bin Muawiyah di Damsyik (Syam).
Buku “Asadul-Ghabah” itu selanjutnya mengungkapkan bahwa suku Kindah
yang dipimpin oleh Qais bin ‘Asy’ats telah berhasil mengumpulkan dan
“mempersembahkan” kepada Ibnu Ziyad 13 buah kepala. Sedangkan suku
Hawazin yang dipimpin oleh Syammar Dzil Jausyan yang terkenal sebagai
orang yang sangat membenci ahlul-bait berhasil “mempersembahkan” 20 buah
kepala dari orang-orang keluarga Rasul Allah s.a.w. itu. Sementara Bani
Tamim dan Bani Asad masing-masing “memberikan sumbangan” berupa 17 buah
kepala dari hasil pembantaian yang mereka lakukan di Karbala pada
tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriyah itu.
Timeline Syahidnya Imam Husein
02 Muharram : Imam Husain [A.S.] tiba di Karbala
03 Muharram : Istishad Imam Husain [A.S.]
04 Muharram : Tenda Imam Hussain [A.S.] dipindah dekat Sungai Euphrates
06 Muharram : 30.000 pasukan Yazid Laknatullah tiba di Karbala
07 Muharram : Jalan menuju sungai Euphrates diblokir oleh pasukan Yazid Laknatullah
09 Muharram : Yaumul Tasu’a: Rombongan Imam Hussain [A.S.] dikepung oleh musuh / Malam Asyura
10 Muharram : Hari Asyura / Syahidnya Imam Husain [A.S.] – 61H termasuk
pembantaian seluruh keluarga & pengikut rombongan oleh pasukan Yazid
Laknatullah
11 Muharram : Hanya 3 orang keluarga Rasulullah SAW yang tersisa hidup yakni :
1. Siti Zainab bin Ali
2. Ummu Kulsum bin Muhamad (anak)
3. Imam Ali Zayn Al-Abidin bin Husein [A.S.]
beserta beberapa orang lainnya ditawan dan dirantai dibawa ke Kufah dan
Damascus ( Ass Shams ) sebagai tawanan untuk dihadapkan ke Yazid
Laknatullah yang saat itu menjadi khalifah menggantikan ayahnya
Muawiyah. Dan yang paling mengerikan adalah para pasukan Yazid
Laknatullah juga membawa penggalan Kepala Imam Hussain [A.S.]
12 Muharram : Rombongan Ahlul Bait [A.S.] yang menjadi tawanan Yazid Laknatullah tiba di Kufah
13 Muharram : Setelah dipertontonkan kepada Gubernur Kufah, seluruh
mayat Ahlul Bait [A.S.] termasuk penggalan kepala Imam Husain [A.S.]
dikubur di Kufah
Demikianlah sekelumit kisah pembantaian keluarga Rasulullah SAW di
Karbali oleh pasukan Yazin bin Muawiyah. Yang tertinggal hanya anak
Sayidina Husein yakni Sayidina Zainal Ali Abidin dan Zainab. Mereka
dibawa Ke Kuffah dan Damsyik menemui Raja Yazid sebagai TAWANAN. Itulah
keangkaran murka yang berlanjut hingga sekarangini…… banyak umat Islam
yang tidak kenal keluarga Rasulullah SAW.
10 Muharram : Syahidnya Imam Husein di pertempuran di Karbala (1/2)
Orang yang masuk surga ada 3 macam, yaitu: Langsung masuk surga tanpa
hisab (dihitung kebaikan dan keburukannya), masuk surga setelah
dihisab, dan masuk surga setelah diadzab terlebih dahulu di neraka.
Tentunya semua orang akan mengidam-idamkan masuk surga tanpa harus masuk
neraka. Tapi bagaimana caranya? Mungkin ini adalah pertanyaan yang
terlintas di benak setiap orang secara spontan begitu membaca judul ini.
Sempurnakan Tauhid !
Agar masuk surga tanpa hisab, syarat yang harus dipenuhi adalah
membersihkan tauhid dari noda-noda syirik, bid’ah, dan maksiat. Alloh
berfirman, “Sesungguhnya Ibrohim adalah seorang imam yang dapat
dijadikan teladan lagi patuh kepada Alloh dan hanif (lurus). Dan
sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan
(Rabb).” (An Nahl: 120). Dalam ayat ini, Alloh memuji nabi Ibrohim
dengan menyebutkan empat sifat, yang apabila keempat sifat ini ada pada
diri seorang insan, maka ia berhak mendapatkan balasan yang tertinggi,
yaitu masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.
Mencontoh Para Nabi Dalam Bertauhid
Di dalam Al Qur’an Alloh memberikan uswah (teladan) kepada kita pada
dua sosok manusia yaitu Nabi Ibrohim dan Nabi Muhammad
‘alaihimashsholaatu was salaam. Alloh berfirman, “Sesungguhnya telah ada
suri teladan yang baik bagimu pada Ibrohim dan orang-orang yang bersama
dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya
kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Alloh,
kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu
permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada
Alloh saja’.” (Al Mumtahanah: 4)
Perhatikanlah, Ibrohim ‘alaihis salam menjadi teladan dengan
memurnikan tauhid dengan cara berlepas diri dari kesyirikan. Dalam ayat
selanjutnya, Alloh berfirman, “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrohim dan
umatnya) ada teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang
mengharap (pahala) Alloh dan (keselamatan pada) hari kemudian.” (QS. Al
Mumtahanah: 6). Tidak diragukan lagi, balasan yang paling besar dan
keselamatan yang dimaksud adalah masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab.
Itulah keselamatan yang hakiki yang dinanti oleh setiap jiwa yang pasti
akan merasakan mati.
Alloh juga berfirman tentang Nabi kita Muhammad shollallohu ‘alaihi
wa sallam, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh.” (Al
Ahzab: 21). Nabi Muhammad adalah orang yang paling paham tentang tauhid,
maka orang yang hendak mempraktekkan tauhid dalam dirinya harus
mencontoh ajaran beliau. Ya Alloh, masukkanlah kami dalam golongan orang
yang mengharap rahmat-Mu dan banyak menyebut-Mu.
Patuh Terhadap Perintah Alloh
Nabi Ibrohim adalah seorang yang sangat patuh kepada Alloh, teguh
dalam ketaatannya dan senantiasa berada dalam ketundukannya, apapun
keadaannya. Buktinya ketika beliau diuji dengan perintah untuk
menyembelih putra kesayangannya, beliau pun tetap patuh melaksanakannya
(Qoulul Mufid karya Syaikh Al Utsaimin). Begitu juga keturunannya,
pemimpin para Nabi, Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, hamba Alloh
yang paling taat. Alloh berfirman, “(Apakah kamu hai orang musyrik yang
lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam
dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Rabbnya?” (Az Zumar: 9)
Keluar dari Kegelapan Syirik Menuju Cahaya Tauhid
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Hanif adalah menujukan ibadah hanya kepada
Alloh (tauhid) dan berpaling dari peribadatan kepada selain-Nya
(syirik).” (Fathul Majid). Inilah sifat orang yang akan masuk surga
tanpa hisab dan tanpa adzab, yakni betul-betul menjaga kemurnian
tauhidnya dengan berpaling sejauh-jauhnya dari kesyirikan dengan segala
macam pernak-perniknya. Mujahid berkata, “Nabi Ibrohim adalah seorang
imam walaupun beliau beriman seorang diri di tengah kaumnya yang kafir.”
(Tafsir Ibnu Katsir, An Nahl: 120). Maksudnya beliau adalah sosok yang
selamat dari kesyirikan baik dalam perkataan, perbuatan, maupun
keyakinan.” (Al Jadid karya syaikh Al Qor’awi). Maka untuk memurnikan
tauhid, kita harus berpaling dari syirik dan pelakunya.
Tawakkal Kepada Alloh, Itu Kuncinya
Mari kita simak sabda Nabi yang paling kita cintai dan sangat
mencintai umatnya, Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam tentang masuk
surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Beliau bersabda, “Beberapa umat
ditampakkan kepadaku, lalu kulihat seorang nabi bersama beberapa orang,
ada seorang nabi bersama satu atau dua orang, dan ada seorang nabi yang
tidak disertai siapapun. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku satu golongan
dalam jumlah yang amat banyak, sehingga aku mengira mereka adalah
umatku. Maka ada yang memberitahukan kepadaku, ‘Ini adalah Musa dan
kaumnya.’ Aku melihat lagi, ternyata di sana ada jumlah yang lebih
banyak lagi. Ada yang memberitahukan kepadaku, ‘Itulah umatmu, tujuh
puluh ribu orang di antara mereka masuk surga tanpa hisab dan tanpa
adzab.’
Kemudian beliau bangkit dan masuk rumah. Maka orang-orang berkumpul
bersama orang-orang yang sudah berkumpul. Sebagian mereka mengatakan,
‘Barangkali mereka adalah para sahabat Rosululloh shalAllohu ‘alaihi wa
sallam.’ Sebagian yang lain mengatakan, ‘Boleh jadi mereka adalah
orang-orang yang dilahirkan dalam Islam dan tidak menyekutukan sesuatu
pun beserta Alloh.’ Mereka pun mengatakan banyak hal. Lalu Rosululloh
shalAllohu ‘alaihi wa sallam keluar menemui mereka dan mereka
memberitahukan kepada beliau.
Maka beliau bersabda, ‘Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta
ruqyah, tidak meminta untuk (berobat dengan cara) disundut dengan api,
dan tidak melakukan tathayyur, serta mereka bertawakal kepada Alloh.’
Lalu ‘Ukkasyah bin Mihshon berdiri dan berkata, ‘Berdo’alah kepada Alloh
agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka.’ Beliau bersabda,
‘Engkau termasuk golongan mereka.’ Kemudian ada orang lain berdiri dan
berkata, ‘Berdo’alah kepada Alloh agar Dia menjadikan aku termasuk
golongan mereka.’ Beliau bersabda, ‘Engkau sudah didahului ‘Ukasyah.’”
(HR. Al Bukhori dan Muslim)
Di antara pelajaran paling berharga yang bisa dipetik dari hadits ini
adalah bahwa tidak meminta ruqyah, tidak berobat dengan cara disundut
dengan besi panas (kayy), dan tidak menganggap akan mengalami kesialan
setelah mendengar atau melihat sesuatu (tathoyyur) merupakan wujud dan
realisasi dari tawakkal kepada Alloh.
Karena itulah Rosululloh menganjurkan kepada umatnya agar tidak
melakukan ketiga hal tersebut, karena pengaruh ruqyah dan kayy yang
sangat kuat sehingga dikhawatirkan seorang hamba menggantungkan harapan
kesembuhannya kepada cara pengobatan tersebut dan bukannya bersandar
kepada Alloh. Khusus untuk tathoyyur maka hukumnya tidak diperbolehkan.
Kesimpulannya, keadaan orang yang akan masuk surga sangat tergantung
dari kadar tawakkal setiap orang, semakin tinggi tingkat tawakkalnya
semakin tinggi pula tingkat kesempurnaan tauhidnya. Allohlah tempat kita
bersandar dan menyerahkan urusan. Wallohu a’lam. (Disarikan dari kajian
Kitab Tauhid bersama Al Ustadz Abu Isa -hafizhohullah-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar