Kamis, 03 Maret 2016

Muawiyyah Bin Abi Sufyan

Muawiyyah Bin Abi Sufyan (Sejarah Peradaban Islam)


A.    Sekilas Tentang Muawiyyah Bin Abi Sufyan
Muawiyah dilahirkan dari keluarga hartawan dan pedagang besar yang menguasai perekonomian hampir seluruh semenanjung Arabia. Ayahnya bernama Abi Sufyan. Abi Sufyan inilah yang menjadi panglima besar kafir Quraisy pada perang Uhud, Khandaq dan pemimpin pemerintahan sampai Mekah dibebaskan oleh Rasulullah.
Ibunya bernama Hindun bin Utbah, seorang wanita lincah, cekatan yang mempunyai andil besar dalam membantu suami di perang Uhud. Pada waktu perang Badar, Hindun kehilangan ayah, paman, saudara dan puteranya. Untuk menuntut bela terhadap keluarganya itu, ia mengupah Wahsyi sebagai pembunuh bayaran untuk membunuh dan mengambil jantung Hamzah paman Nabi dan syahid agung untuk dimakannya mentah-mentah. Usaha menuntut bela ini dapat dicapainya.
Mu'awiyah ibn Abi-Sufyan dilahirkan kira-kira tahun 600 M, jadi seumuran dengan Ali. Dan merupakan keluarga Bani Abd-Shams, dari suku Quraysh. Banu Abd-Shams termasuk berpengaruh dalam masyarakat Mekah. Ayahnya adalah Abi Sufyan ibn Harb, menentang Nabi Muhammad ketika Nabi Muhammad mendapat Wahyu.
Dia meriwayatkan hadits dari Rasulullah sebanyak seratus enam puluh tiga hadits. Beberapa sahabat dan tabi’in yang meriwayatkan hadits darinya anta-ra lain: Abdullah bin Abbas, Abdulah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Dar-da’, Jarir aI-Bajali, Nu’man bin Basyir dan yang lain. Sedangkan dari kalangan tabiin antara lain: Sa’id bin al-¬Musayyib, Hamid bin Abdur Rahman dll.
Ketika pada tahun 630 M, Nabi Muhammad dan pengikutnya menaklukan Mekah, seluruh penduduk Mekah termasuk Bani Abd-Syam, secara formal tun-duk pada Muhammad dan masuk Islam. Sebagian besar serjarawan menyatakan bahwa Muawiyah bersama ayahnya Abi Sufyan menjadi Muslim pada waktu Fathu Mekah. Ada juga yang berpendapat bahwa Muawiyah menerima islam pada awal-awal kenabian dan mendapat tantangan dari kerabatnya. Pasca Fathu Mekah, Muawiyah diangkat oleh Nabi Muhammad sebagai salah satu juru tulisnya dan mendapat kepercayaan menulis Wahyu Allah.
Ketika Nabi Muhammad wafat, dan Abu Bakar menjadi Khalifah, Mua-wiyah ikut kontingen pasukan yang menyerbu Syria dibawah pimpinan saudaranya Yazid bin Abu Sufyan.
Pada masa Kekhalifahan Umar bin Khatab, beliau diangkat sebagai guber-nur Syam pada tahun 640, menggantikan saudaranya, Yazid bin Abu Sufyan yang wafat karena wabah amwas. Secara bertahap beliau memperoleh pengua-saan atas seluruh Syria, dan mendapatkan loyalitas dari seluruh tentara dan pen-duduk kawasan itu. Pada tahun 647, Muawiyah membangun angkatan bersenjata Syria yang kuat sehingga mampu memukul mundur serangan Bizantium dan tahun berikutnya menyerang Bizantium dan berhasil menguasai pulau Syprus (649) dan Rhodesia (654) serta mengalahkan angkatan laut Bizantium di pesisir Lycia (655). Dan pada saat yang sama, Muawiyah secara periodik memberang-katkan ekspedisi kedaratan Anatolia. Semua kampanye penyerangan ini terhenti sehubungan dengan naiknya Ali menjadi Khalifah menggantikan Usman bin Afan.
Ketika Ali menjadi Khalifah, Beliau menuntut keadilan kepada Ali atas pembunuhan Khalifah Usman. Sebenarnya Ali pun mau menghukum para pembunuh Usman, tetapi berhubung keadaan negara sedang kacau, beliau me-nunda permasalahan tersebut sampai suasana kembali stabil. Hal ini tidak disetu-jui oleh Muawiyah, maka pecahlah Perang Siffin antara Khalifah Ali dan Guber-nur Muawiyah. Ketika keadaan perang tersebut memburuk, pihak Muawiyah, menyerukan Tahkim yang diterima oleh pihak Ali. Pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash, sedangkan pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al Asyari.
Pasca tahkim, muncullah kaum Khawarij yang membuat keonaran. Oleh karena itu Ali berusaha memadamkan kaum ini. Disaat yang sama terjadi pergolakan di Mesir. Gubernur mesir, Qaish, dipanggil dan Ali mengganti-kannya dengan Muhammad bin Abu Bakar. Tetapi pemberontakan malah sema-kin luas di Mesir. Mu'awiyah memerintahkan 'Amr ibn al-'As untuk menaklukan mesir dan berhasil. Muhammad bin Abu Bakar terbunuh. Setelah itu Muawiyah melancarkan serangan ke Arabia, Yaman dan Irak.
Setelah Mekah dibebaskan, bersamaan dengan ayahnya ia pun masuk Islam. Setelah masuk Islam, ia menjadi salah seorang sekretaris Rasulullah saw. Ia pun ikut perang Hunain dan dengan gagah berani memperlihatkan keperwiraannya sebagai seorang putera bekas panglima dan mendapat pembagian rampasan perang bersama ayahnya melebihi yang lain karena keduanya masih muallaf (orang yang baru masuk Islam, yang mendapat jaminan hidup lebih dari orang yang sudah betul-betul beriman, supaya tidak murtad lagi).
Di zaman Khilafah Abubakar ra, ia ikut bertempur melawan Romawi di Syam (Damsyiq)di bawah pimpinan kakaknya Yazid bin Abu Sufyan. Ketika Yazid wafat, Muawiyah mengambil alih pimpinan pemerintahan dan kemudian oleh Khalifah Abubakar ra ditetapkan, menjadi wali negeri Syam sebagai pengganti kakaknya itu.
Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khatthab ra, ia masih menjadi wali negeri Damsyiq. Ketika Khalifah Umar ra meninjau Syam, beliau mendapatkan Muawiyah di Istananya yang sangat mewah; Umar berkata, "Ini adalah Kisra (Kaisar) Arab!" Tidak lama setelah itu, karena berbagai alasan, Umar memberhentikan dari jabatannya dan Said bin Amir pelopor hidup sederhana menggantikan Muawiyah.
Pada masa Khalifah Utsman, Muawiyah diangkat kembali menjadi wali negeri seluruh Syria, termasuk Palestina. Banyak pengaduan rakyat kepada Khalifah Utsman tentang tindakan wali negeri ini, termasuk keberandalan puteranya. Akan tetapi sebagian besar surat pengaduan itu tidak disampaikan kepada Khalifah oleh sekretaris beliau yang bernama Marwam (saudara sepupu Muawiyah). Atas pengkhianatan Marwam inilah timbulnya pemberontakan dan terbunuhnya Khalifah Utsman.
Muawiyah adalah seorang jenius, pintar dan cerdik, politisi dan panglima perang. la mampu menggunakan kekuasaan dan harta negara dalam mencari kawan dan merangkul bawahan. Sahabat Nabi yang mulia ini, walaupun banyak ahli sejarah yang mencaci-makinya, wafat pada tahun 60 Hijrah dalam usia 78 tahun. Semoga Allah mengampuni dan menerima amal baktinya.
Muawiyah lahir lahir empat tahun menjelang Rasulullah menjalankan dakwah di kota Makkah. Riwayat lain menyebutkan ia lahir dua tahun sebelum diutusnya Muhammad Saw menjadi Nabi. Beberapa riwayat menyatakan bahwa Muawiyah memeluk Islam bersama ayahnya, Abi Sufyan bin Harb dan ibunya Hindun binti Utbah tatkala terjadi Fathu Makkah. Namun riwayat lain menyebutkan, Muawiyah masuk Islam pada peristiwa Umrah Qadha’ tetapi menyembunyikan keislamannya sampai peritistiwa Fathu Makkah.
Di masa Rasulullah Saw, ia diangkat sebagai salah seorang pencatat wahyu setelah bermusyawarah dengan Malaikat Jibril. Ambillah dia sebagai penulis wahyu karena dia jujur,” kata Jibril. Pada masa Khulafaur Rasyidin, Muawiyah diangkat menjadi salah seorang panglima perang di bawah komando utama Abu Ubaidah bin Jarrah. Kaum Muslimin berhasil  menaklukkan Palestina, Syria (Suriah), dan  Mesir dari tangan Imperium Romawi Timur. Berbagai kemenangan ini terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Al-Khathab.
Ketika Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah menggantikan Umar, Muawiyah diangkat sebagai gubernur untuk wilayah Syria dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus menggantikan Gubernur Abu Ubaidah bin Jarrah. Pada masa pemerintahan Ali, terjadi beberapa konflik antara kaum Muslimin. Di antaranya Perang Shiffin. Perang yang terjadi antara Ali dan Muawiyah ini berakhir dengan perdamaian.
Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh, kaum Muslimin sempat mengangkat putranya, Hasan bin Ali. Namun melihat keadaan yang tidak menentu, setelah tiga bulan, akhirnya Hasan mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Serah terima jabatan itu berlangsung di kota Kufah. Tahun inilah yang dalam sejarah dikenal dengan Amul Jama’ah (Tahun Kesatuan). Dengan demikian, Muawiyah resmi menjadi khalifah.
Beberapa kalangan ada yang menyebut Muawiyah dengan julukan yang jauh dari akhlak islami. Padahal walau bagaimanapun ia tetap sahabat Rasulullah, yang telah banyak memberikan sumbangan untuk Islam. Ia ikut di berbagai peperangan, baik di masa Rasuullah atau Khulafaur Rasyidin. Mengenai tudingan yang menjelekkannya, tidak semuanya bisa diterima begitu saja. Bahkan beberapa kebijakan yang oleh sebagian sahabat dianggap ‘menyimpang’ masih bisa dimaklumi. Kendati pun ada, hal itu wajar mengingat ia adalah manusia biasa yang kadang khilaf atau dipengaruhi orang-orang sekitarnya. Semua itu tidak mengurangi keutamaannya sebagai sahabat, bahkan masih terbilang keluarga dekat Rasulullah Saw.
Muawiyah dikenal sebagai negarawan dan politikus ulung. Ungkapannya tentang hal ini dicatat sejarah, “Aku tidak akan menggunakan pedangku selagi cambukku sudah cukup. Aku tidak akan menggunakan cambukku selagi lisanku masih bisa mengatasinya. Jika ada rambut yang membentang antara diriku dan penentangku, maka rambut itu tidak akan putus selamanya. Jika mereka mengulurkannya, maka aku akan menariknya. Jika mereka menariknya, maka aku akan mengulurnya.”
Ia mempunyai kemampuan diplomasi yang sangat tinggi sehingga Nicholsan dalam bukunya Literaty History of The Arabs menulis, “Muawiyah adalah seorang diplomat yang cakap dibanding dengan Richelieu, politikus Prancis yang terkenal itu.” Lebih tepat lagi ia mencontohkan Muawiyah dengan Oliver Cromwell, politikus dan protektor Inggris yang termasyhur, yang pernah membubarkan parlemen.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Muawiyah mengubah kebijaksanaan pendahulunya. Kalau pada masa empat khalifah sebelumnya, pengangkatan khalifah dilakukan dengan cara pemilihan, maka Muawiyah mengubah kebijakan itu dengan cara turun-temurun. Karenanya, khalifah penggantinya adalah Yazid bin Muawiyah, putranya sendiri.
Muawiyah adalah pendiri Daulah Umawiyah. Pada masa ini kaum Muslimin memperoleh kemajuan yang sangat pesat. Tidak hanya penyebaran agama Islam, tetapi juga penemuan-penemuan ilmu lainnya.
Ketika Byzantium mengerahkan tentaranya untuk memperluas jajahannya, ia tiba di beberapa daerah kekuasaan Muawiyah. Untuk mengusir tentara Byzantium itu, Muawiyah mengerahkan 1.700 kapal perang kecil yang mampu menghalau pasukan musuh. Dengan tidak mengenal lelah, kaum Muslimin menaklukkan pulau Cyprus dan Rhodus di Laut Tengah. Di samping itu, pada tahun 50 H, Muawiyah mengangkat Uqbah bin Nafi’ menjadi gubernur di Maroko. Dengan 10.000 tentara ia berhasil mengalahkan orang-orang Romawi. Ia juga dapat mengalahkan bangsa Barbar dan penduduk asli Afrika. Lebih dari itu semua, ia telah meletakkan pondasi Daulah Umawiyah yang telah mengharumkan nama Islam selama ratusan tahun.
Setelah menjabat sebagai gubernur di Palestina selama 10 tahun dan di Syam 10 tahun, serta sebagai Khalifah Daulah Umawiyah selama 20 tahun, Muawiyah meninggal dunia pada Kamis pertengahan Rajab 60 H dalam usia 78 tahun.
B.     Muawiyah Bin Abi Sufyan Menjadi Khalifah
Ketika Ali terbunuh pada tahun 661, Muawiyah memiliki pasukan paling besar dalam kedaulatan islam dan memiliki kekuatan yang besar untuk mengklaim kekhalifahan. Putra Ali, Hasan ibn Ali, setelah mempertimbangkan keadaan umat, memberikan hak kekhalifahannya kepada Muawiyah dan memilih tinggal di Madinah dan pensiun. Tahun ini disebut sebagai ‘Aam Jama’ah (Tahun Kesatuan), sebab pada tahun inilah umat Islam bersatu dalam menen-tukan satu khalifah. Pada tahun itu pula Mu’awiyah mengangkat Marwan bin Hakam sebagai gubernur Madinah.
Setelah terjadinya ketentraman dan persatuan dalam kedaulatan islam, Muawiyah mulai meluncurkan kampanye militer. Ke timur, Pasukan islam berhasil menaklukan Khurasan (663-671) dari arah Basrah, menyebrangi sungai Oxus, dan menyerbu Bukhara di Turkistan (674). Ke Barat, Gubernur Muawiyah di Mesir mengirim ekspedisi dibawah pimpinan Uqba bin Nafi menaklukan Afrika Utara yang masih dikuasai Bizantium sampai Algeria. Ke Utara, menye-rang Asia Kecil untuk melawan Bizantium. Muawiyah juga meluncurkan serangan sebanyak 2 kali meskipun tidak berhasil untuk mengepung Konstan-tinople yang dipimpin putranya, Yazid.
Untuk mengamankan tahtanya, dan memperluas batas wilayah Islam, Muawiyah sangat mengandalkan orang-orang Syam (Suriah), yang kebanyakan terdiri atas bangsa Arab Yaman dan mengenyampingkan umat Islam pendatang dari Hijaz. Menurut riwayat, Orang-orang Syam ini sangat loyal terhadap Muawiyah sejak beliau masih menjadi Gubernur Syam.
Sebagai prajurit, memang kualitas Muawiyah lebih rendah dibandingkan dengan Ali bin Abi Thalib. Tetapi sebagai organisator militer, Muawiyah berha-sil mencetak pasukan Syam menjadi satu kekuatan militer Islam yang teror-ganisir dan berdisiplin tinggi. Dengan mengadopsi kerangka pemerintahan Bizantium, ia membangun sebuah negara yang stabil dan terorganisir. Para seja-rawan mencatatnya sebagai orang islam pertama yang membangun kantor cata-tan negara dan lanyanan pos yang kelak pada masa Abdul Malik bin Marwan menjadi sebuah lembaga yang menghubungkan berbagai wilayah kedaulatan islam yang luas.
Selama berkuasa, kesukesan Muawiyah ditunjang dengan kerjasamanya dengan pendukungnya, terutama Amr bin Ash, wakilnya di Mesir, Al Mughirah bin Syu’bah, gubernur Kufah, provinsi yang selalu bergolak, dan Abdullah bin Abihi, penguasa Basrah. Ketiga orang ini bersama Muawiyah disebut sebagai empat politisi ulung Arab Islam. Ziyad digelari bin Abihi kerena ketidakjelasan identitas ayahnya. Ibunya adalah seorang budak di Taif yang dikenal Abu Sufyan. Pada awalnya Ziyad adalah pendukung Ali, tetapi pada saat kritis, Mua-wiyah mengakui Ziyad sebagai saudara sahnya.
Dalam diri Muawiyah, seni berpolitik berkembang. Ia memiliki kemam-puan luar biasa untuk menggunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu dan sebagai gantinya lebih banyak menggunakan jaklan damai. Kelembutannya yang sarat dengan kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakan senjata dan membuat kagum musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengen-dalian diri yang sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan.
Bagi para Khalifah Bani Umayah sesudahnya, Muawiyah merupakan teladan dalam kelembutan, semangat, kecerdasan, dan kenegarawanan yang berusaha mereka ikuti.
Sebelum wafatnya, Muawiyah, dengan menuruti nasehat Mughira, guber-nur Basrah mengangkat putranya Yazid sebagai pengganti dirinya kelak. Hal ini menimbulkan kebencian kaum Syiah. Diantara orang-orang syi’ah yang pertama kali melancarkan permusuhan terbuka terhadap bani Umayyah adalah Hajar bin Adi. Ia mengkritik pedas Mughirah bin Syu’bah, sang gubernur Kufah. Berhu-bung Mughirah bertipikal lemah lembut dan pemaaf, maka ia mengingatkannuya akan akibat tindakannuya. Ketika Mughirah bin Syu’bah wafat, Muawiyah mengangkat Ziyyad sebagai gubernur Kufah. Maka Ziyyad mengirim surat kepada Muawiyah mengenai Hajar bin Adi. Oleh Muawiyah, Hajar bin Adi diundang ke Syam dan membunuhnya bersama pengikut setianya.
Mengenai hal ini seorang sejarawan muslim terkemuka yang bernama Ibnu Khaldun dalam kitabnya Mukaddimah menulis : “Seorang imam tidak sewajarnya dicurigai meskipun dia telah melantik ayah atau puteranya sendiri sebagai penggantinya. Dia telah dipertanggungjawabkan untuk mengurus kebajikan kaum muslimin selagi dia masih hidup. Lebih daripada itu dia ber-tanggungjawab untuk membasmi, semasa hidupnya (kemungkinan mewabahnya perkara-perkara yang tidak diingini) setelah.
Hal yang sedemikian sebagai satu contoh adalah sebagaimana yang berlaku ketikaa Muawiyah melantik puteranya, Yazid. Tindakan itu diambil dengan persetujuan rakyat dan, karena itu, dengan sendirinya menjadi satu bahan hujah kepada persoalan yang dibincangkan. Akan tetapi, Muawiyah sendiri bersikap lebih menyokong puteranya Yazid dibanding dengan calon penggantinya yang lain. Sebabnya ialah, dia lebih menitikberatkan kepentingan umum yang menghendaki adanya perpaduan dan harmoni di kalangan masyarakat itu, karena orang yang menguasai pemerintahan, yaitu Bani Umayyah, pada waktu itu setuju melantik Yazid.
Tidak ada motif lain dari Muawiyah. Hemahnya yang tinggi dan hakikat bahwa dia merupakan salah seorang dari sahabat-sahabat Nabi mencegah keterangan yang lain-lainnya. Fakta bahwa dia sering datang kepada para sahabat terkemuka, untuk dimintai nasihat, dan kenyataan bahwa mereka tidak memberikan pendapat (yang bertentangan) merupakan bukti tidak adanya kecurigaan atas dirinya. Mereka (para sahabat) tidak termasuk orang gegabah yang mengambil keputusan dalam masalah kebenaran, dan demikian pula Muawiyah tidak mudah seenaknya menerima kebenaran. Mereka mempunyai peranan masing-masing dalam masalah ini, dan keadilan mereka menahan diri mereka untuk bertindak sewenang-wenangnya.”
Mu'awiyah sendiri wafat pada tanggal 6 Mei 680. Dan digantikan putranya Yazid bin Muawiyah. Wafatnya Khalifah Muawiyah menyebabkan armada laut Arab mundur dari perairan Bosporus dan Aegea, sehingga untuk sementara menghentikan penyerangan ke Konstantinopel.
C.    Usaha Muawiyah bin Abi Sufyan dalam Mempertahankan Kekuasaan
Langkah strategis yang dilakukan Muawiyah setelah mendapatkan jabatan dari Hasan bin Ali pada tahun 41 H/661 M adalah :
1.      Meminta Pengakuan dari para pengikut Hasan bin Ali
Muawiyah bin Abi Sufyan meminta kepada Hasan bin Ali untuk menjelaskan hasil kesepakatan yang telah dicapai antara Hasan Bin Ali dengan Muawiyah dalam sebuah pertemuan di maskin kepada para pendukungnya. Muawiyah berharap, dengan cara seperti ini, ia akan berhasil menjalankan roda pemerintahan tanpa harus mendapatkan banyak perlawanan atau penolakan dari kelompok yang kurang setuju atas hasil kesepakan tersebut. selain itu, pelimpahan kekuasaan yang terjadi dari tangan Hasan ke tangan Muawiyah akan terjadi semakin kuat posisi dan kedudukan Muawiyah karena mendapat dukungan yang relatif cukup kuat dari penduduk Kufah, Basrah dan para penduduk kota-kota lainnya.
Permohonan Muawiyah telah disetujuinya, Hasan bin Ali kemudaia mengumpulkan para sahabat setianya di kediaman Madain, sebelum memberikan penjelasan lebih jauh kepada para sahabat setianya di Masjid Kufah. Di dalam pertempuran itu Hasan menjelaskan bahwa dirinya telah menyerahkan kekuasan kepada Muawiyah dan telah mengakui Muawiyah sebagai pemimpin. Oleh karena itu, sekali lagi lagi Hasan meminta agar mereka melakukan seperti apa yang dilakukannya, yaitu menjadikan Muawiyah sebagai pemimpin mereka, dan jangan sekali-kali membantahnya bila telah melakukan bai’at kepadanya.
Sebagai penegasan atas pelimpahan khalifah tersebut, kembali Hasan bin Ali pergi ke Masjid Kufah untuk memberikan penjelasan mengenai alasan mengapa ia mau memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dan mengakuinya sebagai khalifah. Setelah umat Islam berkumpul di Masjid, Hasan bin Ali di minta oleh Amr bin Al-Ash melalui Muawiyah untuk memberikan penjelasan kepada para sahabat setianya mengenai pristiwa yang telah terjadi di Maskin itu. Ketika itu, hadir tokoh-tokoh penting, baik dari pihak Hasan bin Ali maupun baik pihak Muawiyah bin Abi Sufyan. Dari pihak Hasan bin Ali hadir antara lain, Abdullah bin Abbas, Qays bin Sa’ad, Abu Ja’far, Abu Amir, dan lainnya. Sementara dari pihak Muawiyah hadir antara lain, ’Amr bin Al-Ash, Abu Al-A’war Al-Sulma, ’Amr bin Sufyan.
Di dalam masjid Kufah inilah, Hasan bin Ali memberikan penjelasan mengapa ia mau memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dan mau mengakuinya sebagai khalifah. Mereka bergiliran memeberikan sambutan masing-masing. Sebelum Muawiyah meminta umat Islam mengakui kepemimpinannya, terlebih dahulu Hasan diminta untuk memberikan penjelasan kepada pendukung setianya. Baru kemudian Muawiyah yang berbicara dan memberikan penjelasan penting mengenai perjanjian perdamain yang telah di sepakati bersama antara dirinya dan Muawiyah bin Abi Sufyan, dengan berbagai konsekuensinya. Antara lain, mereka diminta melakukan apa yang telah di sepakati dan mentaati perintah Muawiyah yang kini telah menjadi pemimpin mereka.
Setelah memberikan penjelasan kepada pengikutnya, maka secara de Jure atau secara legal, Muawiyah telah menjadi nomor satu di dunia Islam kala itu. Dengan kata lain, sejak saat itulah berdirinaya dinasti Bani Umayyah pada tahun 661 M.
2.      Memindahkan Pusat Kekuasaan ke Damaskus
Setelah Muawiyah memperoleh pengakuan dari para pengikut Hasan bin Ali, maka langkah yang dilakukan selanjutnya adalah usahanya memindahkan pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Damaskus. Pemindahan ini dilakukan karena di kota itulah pusat kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan sebenarnya. Di kota itulah para pendukung setianya berada. Dari kota Damaskus Muawiyah mengendalikan pemerintahan dan mengatur berbagai kebijakan politik
Alasan lainnya Muawiyah memindahkan pusat kekhalifahan adalah : karena Kota Damaskus memiliki letak yang sangat strategis bagi Muawiyah untuk mengambangkan kekuasaanya ke bakas-bekas wilayah kekuasaan kerajaan Romawi di bagian utara. Letak strategis itu tidak hanya dari sisi politik militer, juga dari sisi ekonomi. Sebab kota Damaskus. Syiria terletak di dekat laut Tengah (Laut Mediterania) yang merupakan jalur perdagangan ke Eropa.
Upaya yang dilakukan Muawiyah ini memang sangat strategis. Sebab, selain alasan politik, ekonomi dan perdagangan , Damaskus juga pernah menjadi Wilayah jajahan Romawi dan Persia. Dua kerajaan yang pernah mempunyai masa kejayaan yang di tinggalkan di kota tersebut. Karena itu wajar bila kemudian pada masa pemerintahan Muawiyah dan para penerusnya banyak terjadi perkembangan ilmu pengetahuan, peradapan dan sebagainya.
Muawiyah bin Sufyan dalam usahanya memindahkan pusat pemerintahan ke Damaskus, merupakan sebuah langkah yang tepat ketika itu. Sebab bila tidak di lakukan dengan segera, kemungkinan ia akan banyak menghabiskan energi dan waktu hanya sekedar untuk menghalau mereka yang tidak senang atas kepemimpinan Muawiyah. Selain itu, kemungkinan besar ia tidak memiliki banyak peluang untuk mengembangkan kemampuanya di dalam membangun sebuah cita-cita diri dan kablahnya untuk menjadi penguasa tunggal di dunia Islam.
3.      Mengangkat Para Pejabat Gubernur
Setelah  Muawiyah berhasil memindahkan pusat pemerintahan ke Damaskus, maka langkah selanjutnya adalah mengangkat para pejabat yang akan membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan. Orang-orang tersebut dipercaya untuk memangku jabatan yang amat strategis di wilayah kekuasaan Muawiyah guna mempertahankan keutuhan wilayah dan kekuasaan yang ada. Mereka menjabat sebagai gubernur yang tunduk di bawah kekuasaan pemerintahan dinasti Bani Umaiyah di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Muawiyah bin Abi Sufyan sejak usia remaja telah nampak jiwa kepemimpinannanya,  beliau memiliki sifat dan kepribadian sampai pada tingkat hilm yang terkenal dimiliki orang-orang Mekkah. Muawiyah di gambarkan sebagai orang yang tidak mudah terpancing emosi, tidak mudah bingung, selalu melalui pertimbangan yang masak dalam menentukan atau mengambil sebuah keputusan. Hal ini dapat dilihat dari kebijakanya dalam mengangkat para pejabat dan bawahanya yang akan menjadi pembantu setianyadi dalam menjalankan roda pemerintahan. Misalnyasaja soalpengangkatan gubernur daerah yang akan menjadi pejabat di wilayah yang berada di bawah kekuasaanya.
Muawiyah bin Abi Sufyan telah memilih beberapa orang yang dapat memperkuat posisi kepemimpinannya. Mereka adalah Amr bin Al-Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Kedua orang yang di sebutkan itu, Amr dan Al Mughirah bin Syu’bah, memiliki peran yang sangat penting, baik sebelum atau sesudah Muawiyah menjadi khalifah. Sementara Ziyad baru memainkan peran pentingnya ketika ia di beri kesempatan oleh Muawiyah untuk menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan Bani Umaiyah, yaitu gubernur Basrah.
Salah satu alasan Muawiyah merangkul  Amr bin Al-Ash, adalah karena ia telah memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah taktik dan strategi politik dan peperangan yang sebanding dengannya. Ia kemudian di ajak kerjasama dalam mengahadapi kekuatan Ali bin Abi Thalib, yang kemudian setelah itu diberi kepercayaan untuk menaklukan Mesir dan setelah berhasil Amr di percaya menjadi gubernur kota itu. Setelah Muawiyah bin Abi Sufyan berhasil mendapatkan legitimasi politik dari masyarakat luas, khususnya para pendukung Ali dan Hasan di Kufah dan Basrah, jabatan tersebut tetap di percayakan kepada Amr bin Al-Ash. Pemberian jabatan ini karena Muawiyah tau persis kemampuan yang di miliki Amr dan kekuatan yang ada padanya. Amr berkuasa sebagai gubernur selama kurang lebih dua tahun (41-43 H).
Selain merangkul Amr bin Al-Ash, Muawiyah juga mengangkat  Al-Mhugirah bin Syu’bah. Ia memiliki potensi besar dengan dukungan masa ynag cukup banyak di kotanya. Karena itu, ketika Muawiyah berkuasa sebagai khalifah, ia melihat Al-Mughirah sebagai seorang tokoh potensial yang perlu di rangkul dengan jabatan strategis di wilayah Kufah, jabatan yang pernah di dipegang selama satu tahun atau dua tahun ketika Umar bin Khattab berkuasa yang mencakup pula wilayah Syiria. Ia mengaku jabatan ini selama lebih kurang satu dasawarsa hingga ia wafat pada tahun 50 H. Setelah ia wafat, wilayah kekuasaanya di gabungkan Muawiyah ke dalam wilayah pemerintahan gubernur Ziyad bin Abihi.
Tokoh lainnya yang dianggap perlu diangkat adalah: Ziyad bin Abihi. Dalam pandangan Muawiyah, orang seperti Ziyad juga perlu mendapatkan perhatian dan kedudukan khusus di pemerintahan. Sebab, Ziyad bin Abihi, meskipun sedikit memiliki pengaruh keluarga atau klan, karena Ziyad di beritakan tidak memiliki ayah yang jelas yang kemudian orang mengenalnya dengan sebutan Ziyad bin Abihi tetap saja menjadi orang yang di perhitungkan oleh Muawiyah, bukan hanya karena reputasinya, juga karena dari penelusuran silsilah atau asal usulnya, ternyata Ziyad di ketahui anak seorang ibu yang sebenarnya budak Abi Sufyan yang berasal dari Thaif yang beralih tangan al-Harits bin Kaldah sebelum Ziyad lahir. Karenanya, Ziyad juga sering di sebut dengan Ziyad bin Abi Sufyan.
Pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib berkuasa, Ziyad di tunjuk sebagai gubernur Basrah dengan tugas khusus di persia bagian selatan. Karenanya ketika Ali wafat, dan Hasan memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dalam peristiwa Am al-Jama’ah di maskin tahun 661 M/41 H, ia pindah ke persia sembunyi di sana. Hal itu di  lakukan karena ia merasa khawatir akan keselamatan dirinya karena ia telah menolak ajakan Muawiyah agar Ziyad mau bergabung bersamanya yang telah mengakuinya sebagai saudara seayah .
Berkat kecerdikan Muawiyah dan kepiawaian, maka Muawiyah akhirnya mampu mempengaruhi Ziyad untuk bergabung dengannya, bahkan Muawiyah mengikatnya dengan ikatan perkawinan antara putri Muawiyah dengan putra Ziyad bernama Muhammad bin Ziyad. Dengan cara-cara seperti itu, akhirnya Ziyad mau menyatakan bersedia bergabung dan secara otomatis mengakui keberadaan khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Hal tersebut dilakukan Muawiyah karena ia melihat potensi besar yang dimiliki Ziyad dalam masalah kemiliteran dan keteguhan dalam mempertahankan prinsip yang dimilikinya.
Ditempat tugas barunya inilah Ziyad  menyampaikan pidato perdananya kepada masyarakat Basrah. Pidato yang disampaikan sangat mengagumkan dan sekaligus menggetarkan sendi-sendi orang yang berusaha menentang kekuasaannya atau kekuasaan Muawiyah. Pidatonya itu di kenal dengan pidato batra, karena tidak dimulai dengan ucapan basmalah. Isi pidatonya sangat jelas dan menelanjangi kejahatan-kejahatan penduduk Basrah. Ia mengulurkan ancaman-ancaman keras terhadap mereka yang tidak patuh.  Dalam pidatonya itu, ia juga bersumpah kalau tidak hanya akan menghukum mereka yang berdosa, juga menghukum tuan lantaran dosa hamba sahaya, dan seterusnya.
Diantara isi pidato Ziyad adalah sebagai berikut:
Kebencian pada diriku tidak akan aku hukum hanya kejahatan (yang kuhukum). Banyak yang berduka karena kedatanganku akan bergembira, dan mereka yang berduka akan berduka. Aku datang kepada kalian atas kehendak Allah untuk memerintahmu dan mengawasi kesejahteranmu. Maka menjadi kewajibanmulah untuk mendengar dan mematuhikudalam hal yang kupandang baik, dan hak kamulah untuk menuntutku agar berbuat adil dalam tanggung jawabku. Dalam beberapa hal aku memiliki kekurangan, tetepi ada tiga hal yang aku bertekad untuk tidak kekurangan. Aku akan mendengar permohonan-permohonanmu, bahkan jika kamu datang mal;am hari, aku tidak akan menahan makanan dan tunjangan-tunjanganmu melewati waktunya, dan aku tidak akan mengirim kamu ke medan perang untuk waktu yang lama. Doakanlah kesejahteraan pemimpin-pemimpinmu, karena mereka adalah penguasamu yang membenarkanmu dan tempetmu memperoleh pertolongan. Janganlah hatimu dipenuhi kedengkian dan kemarahan pada mereka, karena tidak baik bagimu. Jika kamu melihatku masalahmu dengan baik, maka berterima kasihlah. Saya melihat di antara kamu ada banyak bangkai, hati-hatilah jangan sampai ada di antara kamu yang akan menjadi bangkai pula.”
Mendengar pidato Ziyad tersebut, banyak penduduk Basrah dan orang-orang yang mencoba berusaha melawannya, berdiri, merinding dan ketakutan. Karena dengan tegas dan sangat jelas, bahwa Ziyad akan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang membangkang dan tidak patuh terhadap pemimpin yang telah mereka akui keneradaanya. Selain itu, juga membawa angin segar bagi para penduduk yang mau bekerja sama dengannya dalam membangun dan mempertahankan keutuhan wilayah Islam. Bahkan ia berjanji akan membuka pintu rumahnya bagi mereka yang ingin menyampaikan keluhan dan saran yang baik guna kemajuan atau kemaslahatan umat dan negara.
Pidato Ziyah yang begitu tegas dan transparan tersebut, membuat suasana jadi tegang dan tidak memberi peluang bagi mereka yang ingin berbuat kecurangan atau berbuat tidak adil. Bagi mereka yang mau melakukan pemberontakan, akan berfikir ulang untuk merealisasikannya. Karena mereka tau benar siapa Zayid bin Abihi. Ia di kenal tegas dan tidak pandang bulu ketika menjatuhkan sanksi hukum. Hal itu dapat dilihat, misalnya ketika memperlakukan jam malam. Al-Thabary menceritakan bahwa Ziyad pernah menjatuhkan hukum pancung pada seorang musafir yang tertangkap pada malam hari oleh penjaganya. Padahal, musafir itu tidak mengetahui adanya jam malam dengan adanya keluar bagi masyarakat, dan bagi mereka yang melanggar peraturan itu, akan di hukum pancung. Oleh karena itu, ketika musafir itu di bawah ke hadapan Ziyad, gubernur itu mengintrograsinya. Ziyad bertanya : apakah engkau tidak mengetahui (mendengar) adanya peraturan pelanggaran adanya jam malam? Musafir itu menjawab. Demi Allah, aku tidak mendengarnya. Aku seorang musafir yang kemalaman, karena itu aku berhenti di padang pasir menuggu datangnya fajar subuh, dan aku tidak tau adanya larangan keluar malam. Ziyad menjawab: ”Aku kira egkau benar, tetapi demi kemaslahatan rakyat, engkau harus dibunuh.”
Ziyad merupakan sosok pemimpin yang tegas dan tidak plin-plan. Ia teguh mempertehankan prinsip dan semuanya itu dilakukan untuk menegakkan peraturan yang telah dikeluarkan. Dengan kata lain dapat di katakan bahwa ketegasan yang di perlihatkan oleh Ziyad sebagai seorang penguasa lokal dan wujud dari seorang khalifah yang berkuasa, justru menjadi momen penting dan bahkan sangat kondusif untuk membangun citra pemerintahan Muawiyah di daerah Basrah dan sekitarnya, sehingga mereka yang ingin berlaku macam-macam untuk melanggar atau menentang kekuasaanya, akan berhadapan denganya dan hidupnya akan berakhir di ujung pedang.
Muawiyah selain memberikan jabatan kepada tiga tokoh di atas juga memberikan jabatan kepada Marwan bin Al-Hakam untuk diangkat menjadi gubernur Madinah, Mekkah dan Tha’if. Marwan memegang jabatan itu hingga Muawiyah wafat pada tahun 680 M. Di antara alasan mengapa Muawiyah memberikan jabatan itu kepada Marwan adalah karena Marwah masih saudara sepupu Muawiyah yang telah banyak memberikan Investasinya untuk mendudkung gerakan Muawiyah memperoleh posisi penting dalam dunia Islam menjadi nomor satu, terutama pasca kematian khalifah Usman dan perjalanan karier politik Muawiyah bin Abi Sufyan.
Kecerdasan Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai seorang pemimpin politik nampak dari strateginya dalam merekrut tokoh-tokoh penting yang memiliki pengaruh dan daerah kekuasaan sebagaimana para tokoh-tokoh di atas. Dengan mengangkatnya beberapa tokoh di atas, maka posisi Muawiyah sebagai seorang pemimpin semakin kuat.