Oleh: Supriyanto Pasir, S. Ag., M. Ag*
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjid al-Harâm
ke al-Masjid al-Aqshâ yang telah Kami berkahi sekelilingnya untuk Kami
perlihatkan padanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Ayat pertama surat al-Isrâ’ atau surat
Banî Isrâ’îl ini adalah ayat yang berbicara tentang Kemahaagungan Allah
SWT dalam memberikan mu’jizat bagi rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w.
Karena keagungan itulah maka Allah SWT memulainya dengan kalimat subhâna
(Maha Suci) yang bertujuan untuk mengharapkan setiap orang yang beriman
agar menghilangkan keragu-raguan terkait hal yang diberitakan Allah
SWT. Kata subhâna adalah bentuk mashdar dari kata sabbaha yang kalau di-tashrîf menjadi: sabbaha-yusabbihu-tasbîhan wa subhânan. Kata subhâna itu ditujukan untuk makna al-tanzîh (mensucikan) dan al-barâ’ah lillâh min kulli naqshin (membebaskan segala kekurangan terkait dengan Allah).
Merupakan satu hal yang wajar bahwa
dalam setiap peristiwa besar yang tak masuk di akal manusia akan
menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan. Apalagi kalau peristiwa yang
luar biasa (khâriq li al-‘âdah) itu tidak dikaitkan dengan
Allah SWT Yang Maha Berkehendak. Untuk menghindarkan diri dari keraguan
itu maka Allah SWT nisbahkan kesucian itu terhadap Allah SWT yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjid al-Haram ke
al-Masjid al-Aqsha.
Sebelum menjelaskan banyak hal terkait
kemukjizatan isra’-mi’raj, dianggap perlu di sini untuk dituliskan
sedikit tentang Masjid al-Aqsha. Makna dari aqshâ sendiri adalah yang paling jauh ditilik dari posisi tempat tinggal nabi Muhammad s.a.w. Yang dimaksud dengan Masjid al-Aqsha itu tidak lain adalah Bayt al-Maqdis yang letaknya di daerah Iliya atau Jerussalem (Dâr al-salâm
dalam bahasa Arabnya) tempat dimana banyak nabi Allah dilahirkan,
diutus dan bahkan diwafatkan Allah SWT. Nabi Ibrahim a.s. juga
dimakamkan di daerah al-Khalil, di sekitar Baitul Maqdis. Demikian juga
dengan nabi Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Zakariyya, Yahya, dan
lain-lainnya juga banyak yang dimakamkan di sekitar Bayt al-Maqdis.
Itulah sebabnya mengapa Allah SWT menyebut wilayah masjid al-Aqsha itu
sebagai tempat yang sekelilingnya diberkahi oleh Allah SWT (alladzî bâraknâ haulahu).
Ada pendapat menarik dari al-Harari, seorang pengajar di Dar al-Hadits
al-Khairiyyah di Makkah al-Mukarramah, tentang mengapa nabi Muhammad
s.a.w. isra’ dari masjid al-Haram ke masjid al-Aqsha. Beliau tuliskan,
dua masjid itu adalah dua masjid yang sama-sama dibangun oleh nabi Adam
a.s. Pertama kali nabi Adam membangun Ka’bah yang di masjid al-Haram.
Baru empat puluh tahun bersilang beliau membangun masjid al-Aqsha. Dua masjid itu pula yang selanjutnya dipugar dan ditinggikan kembali oleh bapak para nabi (abu al-anbiyâ’)
yaitu nabi Ibrahim a.s. Jadi dapat dibayangkan betapa pentingnya dua
tempat itu bagi nabi Muhammad s.a.w. Dan akhirnya Jerusalem yang Masjid
al-Aqsha ada di dalamnya juga menjadi penting kedudukannya bagi umat
Muslim dan bahkan menjadi Kota Suci ketiga setelah Makkah dan Madinah.
Peristiwa yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai isrâ’ dan mi’râj
itu memang suatu peristiwa yang luar biasa. Tidak heran jika
orang-orang Makkah saat itu tidak banyak yang mempercayainya. Bahkan
tidak sedikit yang mengingkarinya dan pada ujungnya menyudutkan dan
menuduh nabi Muhammad s.a.w. sebagai orang gila (majnûn/junûn)
dan orang yang suka berhalusinasi. Bayangkan, apa yang ada di benak
Anda jika seseorang—yang hidup di zaman onta—mengatakan bahwa dirinya
tadi malam telah pergi dari Makkah ke negeri Syam (Palestina sekarang) lalu naik menembus langit tujuh, ke Sidrah al-Muntahâ dan lalu ke al-Mustawâ dengan perjalanan tidak sampai semalam penuh! Apa kata Anda? Tidak percaya? Mungkin! Tapi, bagaimana kalau yang
menghendaki itu Allah SWT? Mungkin atau tidak mungkinkah terjadi? Hal
ini tentu akan berkaitan erat dengan keimanan kita kepada Allah SWT
sebagai dzat yang apa pun yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.Sekali lagi, itulah mengapa sebabnya Allah SWT mengawali firman-Nya dengan kalimat subhâna. Apapun juga bentuknya, yang namanya mu’jizât adalah sesuatu yang keluar dari kebiasaan (khâriqun li al-‘âdah). Nabi Ibrahim a.s. tidak mempan dibakar api, nabi Musa a.s. dapat membelah lautan dengan tongkatnya, nabi Isa a.s. dapat menghidupkan orang yang sudah mati
dan nabi Muhammad s.a.w. dengan isra’ dan mi’rajnya. Hanya saja yang
perlu dipahami, bahwa semua itu tidak akan dapat dilepaskan dari
perkenan Allah SWT (idznullâh). Dengan perkenan-Nya, semua yang dikehendaki-Nya terjadi maka terjadilah. Demikian pula sebaliknya.
Selanjutnya muncul
pertanyaan. Apakah Nabi Muhammad s.a.w. isra’ dan mi’raj dengan ruhnya
saja? Apakah dalam mimpi saja? Atau apakah dengan ruh dan badannya
sekaligus? Pertanyaan ini sering memunculkan jawaban yang beraneka ragam
sesuai dengan pendekatan masing-masing penafsir.
Sebagian rasionalis seperti Imam al-Zamakhsyari,
isra’ dan mi’raj hanyalah terjadi dengan ruhnya saja. Hal itu
didasarkan kepada pernyataan A’isyah r.a. bahwa beliau bersumpah demi
Allah tidak kehilangan jasad Rasulullah s.a.w. pada malam itu dan
menurut beliau nabi Muhammad s.a.w. mi’raj dengan ruhnya saja. Sedangkan menurut Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, peristiwa isra’ dan mi’raj itu terjadi hanya dalam mimpi (fî al-manâm). Adapun mayoritas mufassir (jumhûr) menyatakan bahwa peristiwa agung itu terjadi di alam sadar (fî al-yaqzhân) bukan dalam tidur (fî al-manâm) dan dengan ruh dan jasad nabi Muhammad s.a.w sekaligus.
Bermacam-macam interpretasi (penafsiran)
terkait isra’ dan mi’raj sungguh membingungkan kalangan awam umat
Islam. Di tulisan ini penulis mengajak, mari kita kembalikan saja
perbedaan pendapat (khilâfiyah) itu kepada ayat al-Qur’an itu
sendiri dan oleh karenanya mari kita pahami dengan pendekatan bahasa,
sejarah, dan yang lebih penting adalah dengan pendekatan îmânî sehingga memunculkan pemahaman yang komprehensif (jâmi’) serta menjauhkan diri dari kesalahan.
Dari sudut kebahasaan, jika kita
perhatikan dengan seksama sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa
Allah SWT telah memulai firman-Nya dengan subhâna.
Hal itu menjadi sebuah indikasi bahwa apa yang akan dikatakannya
kemungkinan akan mengagetkan manusia karena merupakan suatu peristiwa
yang luar biasa. Peristiwa luar biasa itu adalah diperjalankannya nabi
Muhammad s.a.w. hanya di sebagian malam dengan jarak yang jauh kemudian
naik menembus langit ke tujuh, Sidrah al-Muntahâ dan hingga al-Mustawâ.
Bahkan penyebutan kata laylan dengan bentuk nakîrah (bukan ma’rifah yang biasanya ditandai dengan alif dan lam) adalah memiliki arti sebagai penyedikitan masa perjalanan al-isra’ (taqlîl muddati al-isrâ’) sehingga dapat ditafsirkan dengan kata min al-layl dimana huruf khafdh “min” di sini berfungsi sebagai li al-tab’îdh.
Peristiwa itu tidak akan luar biasa kalau hanya dengan ruh-nya saja
apalagi jika terjadi hanya dalam mimpi. Dan tidak akan terjadi penolakan
dari kalangan Kafir Quraisy terhadap peristiwa tersebut jika hanya
terjadi dalam mimpi. Hal ini juga dapat kita teliti merujuk kepada pandangan para Mufassir.
Imam al-Sa’di termasuk yang setuju isra’ dan mi’raj nabi s.a.w. adalah
dengan ruh dan jasadnya bersama-sama, karena kalau tidak maka hal itu
tidak akan menjadi tanda-tanda Allah yang besar (âyah kubrâ) dan munqîbah ‘azhîmah Demikian juga Imam al-Nasafi bahwa isra’ itu terjadi satu tahun sebelum hijrah dan terjadi waktu beliau terjaga (wa kâna fi al-yaqzhah),
dan setelah menyebut hadits ‘A’isyah dan Mu’awiyyah, beliau menyatakan
bahwa pendapat yang awal merupakan pendapat jumhur karena tidak ada
nilai lebih bagi pemimpi (idz lâ fadhîlata li al-hâlim) dan demikian juga tidak ada keutamaan bagi orang yang tidur (wa lâ maziyyata li al-nâ’im).Imam al-Baidhawi dalam kitab Tafsîr Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl
juga menguatkan pendapat-pendapat itu dengan adanya ketakjuban
orang-orang Quraisy yang mereka menganggap isra’ dan mi’raj sebagai
peristiwa yang tidak mungkin terjadi, mustahil (istahâlah). Kalau tidak luar biasa, apalagi cuma sekedar mimpi maka tidak mungkin mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil.
Masih dari sudut pandang kebahasaan (lughatan), bahwa Allah SWT memakai kata ‘abdun dalam kalimat bi ’abdihi. Dalam bahasa Arab kata ‘abdun adalah menunjuk kepada seseorang yang terdiri dari jasad dan ruh sekaligus. Karena jasad tanpa ruh adalah mayyitun. Dan ruh tanpa jasad juga tidak dapat disebut ‘abdun dalam pengertian yang sesungguhnya. Penjelasan ini dapat ditelusuri dalam kitab tafsir yang sangat masyhur yaitu Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm atau yang lebih dikenal dengan Tafsîr Ibn Katsîr. Juga dapat ditelusuri dalam Tafsîr Hadâ’iq al-Rauhi wa al-Raihân fî Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân yang ditulis oleh Muhammad al-Amin Al-Hararî. Pandangan yang kuat dan dapat dipegangi (al-mu’tamad)
adalah yang menyatakan bahwa kejadian luar biasa itu terjadi dengan
jasad dan ruhnya sekaligus, dan itulah pengertian yang benar dalam
kalimat bi ‘abdihî. Namun al-Harari juga menambahkan bahwa kalimat yang dipakai Allah SWT adalah bi ‘abdihî, bukan bi nabiyyihî (nabi-Nya) atau bi habîbihî (kekasih-Nya).
Hal itu, kata al-Harari, dimaksudkan agar umat Nabi Muhammad s.a.w.
tidak tersesat sebagaimana tersesatnya umat nabi Isa al-Masih a.s. yang
pada akhirnya menganggap Isa sebagai tuhan (ilâh).
Selanjutnya sudut pandang kesejarahan (târikhiyyah)
diperlukan untuk mengkritisi dua buah pernyataan dari ‘Aisyah r.a. dan
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan r.a. Sebelumnya perlu diajukan satu pertanyaan,
benarkah dua pendapat itu benar-benar dikeluarkan oleh Umm al-Mu’minin
‘A’isyah ibnah Abu Bakr al-Shiddiq r.a. dan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan
r.a.? Setidaknya dua pendapat itu dapat ditelusuri di kitab-kitab yang
ditulis oleh Ibn Ishaq karena kedua pendapat itu memang banyak dijadikan
referensi oleh ibn Ishaq. Jika kedua pendapat dianggap betul berasal dari keduanya maka perlu dikaji lebih kritis lagi. Pertama,
khabar itu hanya dikatakan berdasarkan keterangan keluarga Abu Bakar
al-Shiddiq bahwa ‘Aisyah berkata sebagaimana yang tersebut tanpa
memberikan penjelasan keluarga Abu Bakar yang mana? Kedua,
terkait dengan pernyataan Umm al-Mu’minîn ‘Aisyah r.a. bahwa beliau
tidak kehilangan jasad beliau Rasulullah s.a.w di malam isra’ dan
mi’raj. Hal ini tentu janggal sekali jika peristiwa itu terjadi satu
tahun sebelum hijrah. Mengapa? Karena ‘Aisyah baru menikah dengan nabi
Muhammad s.a.w. dan tinggal serumah dengan beliau adalah satu tahun
setelah hijrah ke Madinah dan di usia yang sembilan tahun.Artinya sangat janggal jika ‘Aisyah benar-benar memberikan pengakuan
seperti itu karena saat itu beliau masih berusia tujuh tahun dan belum
menikah dan tinggal serumah dengan Rasulullah s.a.w.
Kejanggalan kedua terkait dengan Mu’awiyah. Benarkah dia menyaksikan
peristiwa itu sedangkan saat peristiwa itu terjadi dia masih belia dan
belum menjadi pengikut Rasulullah Muhammad s.a.w alias masih kafir dan notabene
anak dari tokoh kafir Quraisy, Abu Sufyan? Dalam catatan sejarah yang
valid, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan baru berislam adalah saat terjadi Fathu Makkah (pemerdekaan
Makkah). Jadi jelas sekali penjelasannya, jika statement tadi
benar-benar bersumber darinya tentu hanyalah berdasar kepada logikanya
saja.
Pendekatan ketiga adalah pendekatan
iman. Pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah ada kemustahilan
untuk setiap yang Allah SWT kehendaki? Iman kita yang akan menjawab.
Jika dijawab ada kemustahilan, maka iman itu perlu dipertanyakan.
Jawaban yang shahih adalah bahwa tidak ada sesuatu hal yang mustahil
dalam setiap yang Allah SWT kehendaki. Dia Maha berkehendak atas segala
sesuatu. Atas dasar keyakinan yang bulat dan utuh itulah maka Abu bakar
membenarkan peristiwa isra’ dan mi’raj itu tanpa melalui proses berpikir
yang njlimet jika sumbernya adalah nabi Muhammad s.a.w. Inilah
yang kita maksudkan dengan pendekatan iman yang sesungguhnya secara
eksplisit telah disentuh pula dengan adanya ayat 1 dan 2 surat
al-Baqarah. Di dua ayat ini Allah SWT memberikan sebuah landasan bahwa
untuk memahami dan mengambil pedoman dari al-Qur’an hendaknya didekati
pula dengan pendekatan keimanan, bukan hanya dengan pendekatan ilmu.
Bayangkan! Setelah Allah SWT menguraikan kalimat Alif Lâm Mîm (al-ahruf al-muqattha’ah)
yang nabi tidak pernah menjelaskan apa maknanya sehingga kalimat itu
dibiarkan tanpa penjelasan, Allah SWT melanjutkan di ayat kedua dengan
mengarahkan kita untuk tidak meragukan al-Qur’an karena dia merupakan
kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya. Apa maksud Allah SWT jika
bukan karena mengharapkan kita percaya saja tanpa banyak bertanya
setelah membiarkan kita yang masih dalam tanda tanya tentang misteri Alif Lâm Mîm yang nota-bene termasuk fawâtih al-suwar?
Pernyataan Allah SWT terkait keyakinan terhadap al-Qur’an di awal surat
al-Baqarah tersebut sebagaimana telah dijelaskan juga memberi satu
tuntunan kepada orang-orang beriman bahwa untuk mempelajari dan
mendalami al-Qur’an hendaknya dilakukan dengan pendekatan iman, bukan
pendekatan ilmu an-sich. Dengan pendekatan iman maka semua
pikiran akan diarahkan untuk meyakini dan membenarkan semua teori,
solusi, dan kandungan apa pun dalam al-Qur’an. Bukan menolak ayat-ayat
al-Qur’an jika ternyata tidak sesuai dengan jalan pikiran atau hawa
nafsunya. Dengan sikap seperti ini al-Qur’an benar-benar akan berfungsi
menjadi hudân (petunjuk) dari Allah SWT. Hanya orang-orang yang
bertaqwa sajalah yang dapat menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk
hidup. Dan al-Qur’an benar-benar menjadi pedoman dan petunjuk bagi
orang-orang yang bertaqwa (al-muttaqîn). Juga sebagai penjelasan dari hal-hal yang mengandung kesesatan sehingga orang bertaqwa tidak terjerumus di dalamnya.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Allah SWT menegaskan diri-Nya sebagai dzat yang Maha Mendengar apa pun
komentar orang terkait peristiwa isra’ dan mi’raj tersebut. Sekaligus
Dia Maha Mengetahui siapa saja yang beriman dan tunduk pada-Nya, juga
orang-orang yang ingkar kepada kebesaran-Nya.
Jelaslah sudah bahwa dengan ayat ini dan
peristiwa yang terjadi, Allah SWT ingin memberikan ujian kepada kita
semua terhadap keagungan Allah SWT. Dengan adanya ujian itu selanjutnya
kita diharapkan tunduk kepada-Nya dan hukum-hukum-Nya dengan ketundukan
yang paripurna. Salah satu ketundukan itu jika dikaitkan dengan konteks
isra’ dan mi’raj serta capaian nabi Muhammad s.a.w dalam pengalamannya
ini adalah shalat lima waktu. Dan setiap tidak perlu bertanya tentang
manfaat konkret dari shalat lima waktu tersebut untuk menunda shalat
yang semestinya segera didirikan oleh setiap Muslim. Lakukan saja baru
kita selami makna dan faidahnya. Bukan mencari makna dan faedahnya dulu
untuk kemudian tidak mengerjakannya jika ternyata tidak sesuai dengan
yang diharapkan. Wallâhu a’lam bi al-shawwâb [ ]
MARÂJI’
Al-Ashfahani, al-Raghib. 2004. Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Bantani, Muhammad ibn Umar Nawawi. 2003. Tafsîr Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-Majîd. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Baidhawî, Abdullah ibn Umar ibn Muhammad al-Syirazî. 2003. Tafsîr Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Biqa’î, Burhanuddin. 2006. Tafsîr Nazhm al-Dhurar fî Tanâsub al-Ȃyât wa al-Suwar. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Hararî, Muhammad al-Amin. 2010. Tafsîr Hadâ’iq al-Rawhi wa al-Raihân fî Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân. Dar Thawq al-Najah: Beirut, Lebanon
Al-Fairuzabadi, Abu Thahir ibn Ya’qub. 1995. Tafsîr Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon
Al-Nasafî, Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmud. 2001. Tafsîr Madârik al-Tanzîl wa Haqâ’iq al-Ta’wîl. Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut, Lebanon
Al-Sa’dî, Abdurrahman ibn Nâshir. 2003. Tafsîr Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân. Dar ibn Hazm: Beirut, Lebanon
Al-Shabunî, Muhammad Alî. 1999. Tafsîr Shafwah al-Tafâsir: Tafsîr li al-Qur’ân al-Karîm. Dar al-Kutub al-Islamiyah: Jakarta
Al-Shawi, Ahmad Muhammad. 2004. Tafsîr Hâsyiyah al-Shâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlayn. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Syanqithy, Muhammad al-Amin. 2003. Tafsîr Adhwâ’ al-Bayân fî Îdhâh al-Qur’ân bi al-Qur’ân. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Sya’rawî, Muhammad Mutawallî. 1997. Al-Fatâwâ: Kullu Ma Yahumm al-Muslim fî Hayâtih wa Yawmih wa Ghadih. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Syaukanî, Muhammad ibn Alî. 2003. Tafsîr Fath al-Qadîr: al-Jâmi’ Baina Fanai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Thaba’thaba’î, Muhammad Husain. 1997. Tafsîr al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân. Mu’assasah al-A’lami li al-Mathbu’at: Beirut, Lebanon
Al-Tsa’alabî, Abdurrahman. 1996. Tafsîr al-Jawâhir al-Hisân fî Tafsîr al-Qur’ân, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Zamakhsyarî, Mahmud ibn Umar ibn Muhammad. 2006. Tafsîr al-Kassyâf ‘an Haqâ’iq Ghiwâmidh al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Hisyam, Abu Muhammad Abdul Mulk Ibn. 2001. Al-Sîrah al-Nabawiyyah li Ibn Hisyâm. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Katsir, Abu al-Fida’ al-Hafizh ibn. 1997. Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon
——— 2003. Qashash al-Anbiyâ’ min al-Qur’ân wa al-Atsar. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon
Kuncahyono, Trias. 2008. Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir. Kompas: Jakarta
Lings, Martin. 2002. Muhammad : His Life Based on the Earliest Sources, terj. Ind. Muhammad: Kisah Hidup Nabi berdasarkan Sumber Klasik. Serambi Ilmu Semesta: Jakarta
Taimiyyah, Taqiyuddin Ibn. T.T. Al-Tafsîr al-Kabîr, Tahqiq wa Ta’lîq Abdurrahman Umairah. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
*
Penulis adalah dosen di Jurusan Tarbiyah Fakultas Ilmu Agama Islam UII
dan pengajar tafsir al-Qur’an di berbagai masjid di Yogyakarta
[1] Muhammad ibn Ali Al-Syaukani. 2003. Fath al-Qadir al-Jami’ Baina Fanai al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-Tafsir. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, jilid 1, h. 1032
[2] Muhammad Husain al-Thaba’thaba’î. 1997. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Mu’assasah al-A’lami li al-Mathbu’at: Beirut, Lebanon, jilid 13, h. 7
[3] Muhammad al-Amin al-Hararî. 2008. Tafsîr Hadâ’iq al-Rauhi wa al-Raihân fî Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân. Dar Thauq al-Najah: Beirut, Lebanon, jilid 16, h. 12
[4]
Realitas religius Jerusalem tidak terbantahkan dalam al-Qur’an yang
adalah kiblat pertama bagi umat Muslim menghadapkan wajah mereka saat
shalat sebelum akhirnya 16 bulan setelah Hijrah Allah SWT memerintahkan
untuk menghadap kea rah Ka’bah (Q.S. al-Baqarah [2]: 144). Lihat Trias
Kuncahyono. 2008. Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir. Kompas: Jakarta, h. 247
[5]
Jarak tempuh antara Makkah ke Palestina normalnya adalah empat puluh
malam dengan perjalanan berkendaraan unta, lihat Abdullah ibn Ahmad ibn
Mahmud al-Nasafi. 2001. Tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut, Lebanon, jilid 1, h. 704
[6] Hal itu dipahami dari penggunaan kata laylan yang berbentuk nakîrah (tankîr) sehingga menunjukkan makna sebagian (ba’dhiyyah)
[7] Q.S. Yasin [36]: 82
[8] Q.S. al-Anbiya’ [21]: 69
[9]Q.S. al-Syu’ara’ [26]: 63
[10]Q.S. Ali Imran [3]: 49
[11]Lihat Mahmud ibn Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari. 2006. Tafsir al-Kassyaf ‘an Haqa’iq Ghiwamidh al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, jilid 2, h. 623
[13]Abdullah ibn Umar ibn muhammad al-Syirazi al-Baidhawi. 2003. Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, jilid 1. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, h. 563. Lihat juga Muhammad ibn Ali al-Syaukani. 2003. Fath al-Qadir: al-Jami’ Baina Fanai al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-Tafsir. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, jilid 1, h. 1032
[14]Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi dalam kitab al-Fatawa. Lihat Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi. 1997. Al-Fatawa: Kullu Ma Yahumm al-Muslim fi Hayatih wa Yaumih wa Ghadih. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, juz 1, h. 82
[15]Abdurrahman ibn Nashir al-Sa’di. 2003. Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan. Dar ibn Hazm: Beirut, Lebanon, h. 428
[16]Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Nasafi. 2001. Tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut, Lebanon, jilid 1, h. 705
[17]Abdullah ibn Umar ibn Muhammad al-Syirazi al-Baidhawi. 2003. Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, jilid 1, h. 563-564
[18]Abu al-Fida’ al-Hafizh ibn Katsir. 1997. Tafsir al-Qur’an al-’Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon, jilid 3, h. 26
[19]Muhammad al-Amin Al-Hararî. 2008. Tafsîr Hadâ’iq al-Rauhi wa al-Raihân fî Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân. Dar Thauq al-Najah: Beirut, Lebanon, jilid 16, h. 11-12
[20]Lihat Abu Muhammad Abdul Mulk Ibn Hisyam. 2001. Al-Sirah al-Nabawiyyah li Ibn Hisyam. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, h. 288
[21]Lihat Martin Lings. 2002. Muhammad : His Life Based on the Earliest Sources, terj. Ind. Muhammad: Kisah Hidup Nabi berdasarkan Sumber Klasik. Serambi Ilmu Semesta: Jakarta, h. 203
[22]Lihat Muhammad al-Amin Al-Hararî. 2008. Tafsîr Hadâ’iq al-Rauhi wa al-Raihân fî Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân. Dar Thauq al-Najah: Beirut, Lebanon, jilid 16, h. 15
[23]Al-Harari menyebutnya termasuk kalangan musyrikin sehingga beritanya (khabar) tentang masalah ini tidak dapat diterima. Lihat Muhammad al-Amin Al-Hararî. 2008. Tafsîr Hadâ’iq al-Rauhi wa al-Rayhân fî Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 16, h. 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar